Oleh. Sunan J. Rustam
Center for Law Information
2003
Bab I
PENDAHULUAN
1
Latar
Belakang
Sejak dibentuk pada
tahun 1945, Mahkamah Internasional (MI) atau International Court of Justice
(ICJ), telah menangani kurang lebih 100 kasus internasional, baik yang bersifat
sengketa antara dua pihak (contentious) maupun advisory[1].
Sebagai penerus dari PCIJ atau Permanent Court International of Justice
yang didirikan pada tahun 1921, MI telah dianggap sebagai salah satu cara utama
atau primary means untuk penyelesaian konflik antar negara di dunia,
“The International Court of
Justice is often thought of as the primary means for the resolution of disputes
between states”[2]
Sebagai salah satu institusi hukum
internasional, MI hanya menerima negara sebagai pihak yang dapat beracara di
dalamnya[3].
Special Agreement atau perjanjian khusus tentang penundukan (consent
to be bound) kepada jurisdiksi MI, harus terlebih dahulu dibuat oleh para
pihak sebelum beracara[4].
Penundukan ini didasarkan pada prinsip kedaulatan Negara atau state
sovereignty. Hakim Oda dalam keputusannya berkenaan tentang jurisdiksi MI
berpendapat,
“When considering the jurisdiction
of the International Court of Justice in contentious cases, I take as my point
of departure the conviction that the Court’s jurisdiction must rest upon the
free will of sovereign state, clearly and categorically expressed, to grant the
Court the competence to settle the dispute in question”[5]
Proses beracara di MI hanya dapat
dilakukan dengan adanya consent dari para pihak yang akan beracara. Consent
ini didasarkan atas asas konsensualisme atau free will dari Negara yang
terkait.
Dari syarat ini dapatlah dilihat
bahwa MI menjunjung tinggi kedaulatan sebuah Negara untuk tunduk atas dasar free
will. Lebih jauh lagi, pengakuan MI akan kedaulatan Negara ini juga dapat
dilihat dari kekuatan mengikat dari keputusan MI. Keputusan yang dikeluarkan
oleh MI hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan
terbatas pada kasus yang diajukan.[6]
Sekilas mekanisme MI sangatlah
ideal melihat dari sisi free will ketundukan negara sebagai pihak yang
beracara dan kekuatan mengikatnya kepada para pihak yang bersengketa (disputant
states). Akan tetapi persoalan akan timbul jika hasil keputusan MI
berdampak kepada negara lain sebagai pihak ketiga yang tidak bersengketa (non-disputant
states). Setidaknya ada dua persoalan penting yang timbul berkaitan dengan
kondisi diatas. Pertama, kekuatan mengikat keputusan MI terhadap pihak ketiga
yang tidak ikut beracara. Kedua, posisi pihak
ketiga yang akan terkena dampak keputusan tersebut.
Melihat dari sisi ini, nampaknya
asas konsensualisme atau free will tidaklah berlaku mutlak dalam proses
beracara di MI. Keadaan free will hanya dapat dilakukan pada saat
pertama pengajuan special agreement antara para pihak yang akan
beracara.
Seperti layaknya pengadilan
nasional atau domestic court, MI juga mempunyai mekanisme keterlibatan
untuk pihak ketiga yang tidak menjadi pihak yang beracara. Salah satu mekanisme
keterlibatan itu adalah dengan melakukan mekanisme intervensi.
Berbeda dengan special
agreement yang menggunakan asas konsensualisme atas dasar free will
ketika pertama kali mengajukan proses beracara, mekanisme intervensi lebih
terkesan memiliki unsur pemaksaan.
Unsur pemaksaan ini didasari dari
keputusan MI yang mempunyai dampak terhadap Negara ketiga yang bukan menjadi
pihak yang beracara di MI. Walupun diatas kertas, Negara ketiga ini mempunyai
pilihan untuk terlibat ataupun tidak terlibat dalam sebuah kasus yang diajukan
di MI, akan tetapi secara realita adalah mustahil atau impossible jika
Negara ketiga ini tidak ikut terlibat dalam proses beracara tersebut. Keputusan
untuk tidak ikut terlibat dalam proses beracara di MI hanya akan membawa
kerugian bagi Negara ketiga yang bersangkutan.
Keadaan free will yang pada
awalnya menjadi dasar ketundukan berubah menjadi indirect forced will atau
pemaksaan secara tidak langsung kepada non-disputant states yang terkena
dampak hasil putusan tersebut.
Pemaksaan secara tidak langsung
ini dapat dilihat pada kasus Continental Shelf 1981, Continental Shelf 1982,
Land, Island & Maritime Frontier 1990, Land & Maritime Boundary 1999
dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001.
Mulai dari jaman PCIJ sampai jaman
MI, tercatat hanya enam kasus yang diintervensi oleh Negara ketiga.[7]
Dari kelima kasus intervensi yang pernah diajukan ke MI diatas, hanya dua kasus
intervensi yang dikabulkan atau granted oleh MI. Kasus intervensi
pertama yang dikabulkan MI adalah kasus
Land , Island
& Maritime Frontier 1990 dimana Negara ketiganya adalah Negara
Nikaragua. Sedangkan kasus intervensi kedua yang dikabulkan adalah kasus Land
& Maritime Boundary 1999, dimana Negara Equatorial Guinea menjadi
Negara yang melakukan intervensi.
Berkenaan dengan hal ini, MI
secara khusus telah mengatur mekanisme
bagi negara ketiga untuk melakukan hak intervensi (right of
intervention) atas sengketa yang sedang diajukan[8].
MI membagi dua jenis intervensi, yaitu intervensi atas dasar pasal 62 statuta
MI dan intervensi atas dasar pasal 63 Statuta MI.
Bab II
PROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL
1
Dasar
Hukum Beracara
Secara keseluruhan,
ada 5 (lima )
aturan yang berkenaan dengan MI sebagai sebuah organisasi internasional.[9]
Adapun kelima aturan tersebut adalah: Piagam PBB[10]
(1945), Statuta MI (1945), Aturan Mahkamah atau Rules of the Court
(1970) yang telah diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000, Panduan Praktek
atau Practice Directions I – IX dan Resolusi
tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah atau Resolution
Concerning the Internal Judicial Practice of the Court yang diadopsi pada
tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19 Aturan Mahkamah (1970).
Di dalam Piagam PBB 1945,
dasar hukum yang berkenaan tentang MI terdapat dalam BAB XIV tentang MI
sebanyak 5 pasal yaitu pasal 92-96.
Sedangkan di dalam Statuta MI sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses
beracara terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan BAB
IV yang memuat tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal (pasal 39 - 46) yang tercantum
di dalam BAB III, sementara di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal
65-68)
Dasar
hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah (Rules of the Court), (1970) yang
terdiri dari 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami
beberapa amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tahun 2000. Aturan ini
berlaku atau entry into force sejak tanggal 1 Februari 2001 dan bersifat
tidak berlaku surut atau non-rectroactive,
“…..The amended Rules shall come
into force on 1 February 2001, and shall as from that date replace the Rules
adopted by the Court on 14 April 1978, save in respect of any case submitted to
the Court before 1 February 2001, or any phase of such a case, which shall continue
to be governed by the Rules in force before that date”.[11]
Dasar hukum yang
berikutnya adalah Panduan Praktek (Practice Directions) I-IX. Ada 9 panduan
praktek yang dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di MI. Panduan
praktek ini secara umum berkisar tentang surat pembelaan (written pleadings)
yang harus dibuat dalam beracara di MI. Dasar hukum terakhir dari proses
beracara di MI adalah Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah
(Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court), (1976).
Resolusi ini terdiri dari 10 ketentuan tentang beracara di MI yang telah
diadopsi pada tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi yang
sama tentang Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5
Juli 1968.
2
Para Pihak yang Beracara
Untuk kasus yang
bersifat contentious, Statuta MI membatasi hanya Negara[12]
yang dapat beracara di MI.[13]
Ada tiga kategori Negara atau state yang dapat beracara di MI yaitu, kategori
pertama adalah Negara Anggota PBB. Mengacu kepada pasal 35(1) dari Statuta MI
dan pasal 93 (1) dari Piagam PBB, Negara anggota PBB adalah ipso facto
terhadap statuta MI dan otomatis mempunyai akses ke MI. Kurang lebih ada 189
negara telah yang menjadi anggota PBB.
Kategori Negara yang
kedua adalah Negara Bukan Anggota PBB akan tetapi party kepada Statuta
MI. Selain itu Negara yang bukan anggota PBB dan bukan anggota Statuta MI dapat
juga beracara di MI dengan persyaratan tertentu yang diberikan oleh Dewan
Keamanan PBB.[14] Adapun
persyaratan yang dimaksud adalah menerima ketentuan dari Statuta MI, Piagam PBB
(pasal 94) dan segala ketentuan berkenaan dengan pengeluaran dari MI atas dasar
pertimbangan Majelis Umum PBB.[15]
Kategori yang terakhir
adalah Negara yang bukan anggota kepada Statuta MI.[16]
Untuk Negara-negara yang masuk dalam kategori ini harus membuat deklarasi[17]
untuk tunduk kepada segala ketentuan MI dan Piagam PBB (pasal 94),
“The International Court of Justice shall be open to a State
which is not a party to the Statute of the International Court of Justice, upon
the following condition, namely, that such State shall previously have
deposited with the Registrar of the Court a declaration by which it accepts the
jurisdiction of the Court, in accordance with the Charter of the United Nations
and with the terms and subject to the conditions of the Statute and Rules of
the Court, and undertakes to comply in good faith with the decision or
decisions of the Court and to accept all the obligations of a Member of the
United Nations under Article 94 of the Charter”[18]
Salah satu landmark
case atau kasus utama berkaitan dengan status Negara untuk beracara di MI
adalah kasus tentang Pelaksanaan dari Konvensi Pencegahan dan Penghukuman atas
Kejahatan Pembunuhan.[19]
Kasus ini mengetengahkan sengketa tentang penafsiran pasal 35 Statuta MI, siapa
yang berhak menjadi pihak yang dapat beracara di MI, dalam hal ini, sengketa
antara Bosnia-Herzegovina atau Yugoslavia .
Pada keputusannya, MI menerima locus standi dari kedua pihak dengan
dasar bahwa keduanya adalah anggota dari konvensi tersebut diatas.
3
Jurisdiksi MI
Secara umum, jurisdiksi dapat diartikan sebagai kemampuan atas dasar
hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum.[20]
Hal ini juga berlaku bagi MI dimana jurisdiksi dijadikan dasar untuk menyelesaikan
sengketa atas dasar hukum internasional. Untuk sebuah kasus dapat diterima atau
admissible di MI, negara sebagai pihak yang beracara harus menerima
jurisdiksi dari MI.[21]
Penerimaan jurisdiksi di dalam MI ini dapat dalam bentuk:
3.1
Perjanjian Khusus atau Special
Agreement
Negara yang akan menjadi pihak
bersengketa pada umumnya menyerahkan perjanjian khusus[22]
yang berisikan subjek sengketa dan pihak yang bersengketa.[23]
Ada 14 kasus yang memakai cara pembuatan perjanjian khusus antara para pihak
untuk menerima jurisdiksi dari MI, yaitu kasus Asylum (Kolombia/Peru);
Minquiers and Ecrehos (Perancis/Inggris); Sovereignty over Certain Frontier
Land (Belgia/Belanda); North Sea Continental Shelf (Jerman/Denmark;
Jerman/Belanda); Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya);
Delimitation of the Maritime Boundary in the Gulf of Maine Area (Kanada/Amerika
Serikat); Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta); Frontier
Dispute (Burkina Faso/Mali); Land, Island and Maritime Frontier Dispute
(El Salvador/Honduras); Territorial Dispute (Libya Arab
Jamahiriya/Chad); Gabcíkovo-Nagymaros Project (Hongaria/Slovakia);
Kasikili/Sedudu Island (Botswana/Namibia); Sovereignty over Pulau Ligitan and
Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia); Corfu Channel (Inggris v. Albania);
Arbitral Award Made by the King of Spain on 23 December 1906
(Honduras v. Nikaragua)[24]
3.2
Ketundukan dari
Perjanjian Internasional
Dalam bentuk ini, jurisdiksi MI ditarik dari perjanjian
internasional yang memang mengharuskan anggotanya untuk tunduk kepada jurisdiksi
MI jika terjadi sengketa. Para pihak tinggal
memakai dasar ketentuan dari perjanjian internasional tersebut yang
mengharuskan untuk menerima jurisdiksi dari MI,
“The application shall specify as far as possible the legal
grounds upon which the jurisdiction of the Court is said to be based; it shall
also specify the precise nature of the claim, together with a succinct
statement of the facts and grounds on which the claim is based”[25]
Kurang lebih ada 300 perjanjian
internasional yang menerima jurisdiksi MI jika ada sengketa.[26]
Pada umumnya jurisdiksi MI dari perjanjian internasional ini berkisar pada
kasus tentang aplikasi atau interpretasi dari perjanjian internasional yang
akan dimintakan kepada MI.[27]
3.3
Deklarasi Ketundukan
bagi negara Anggota Statuta MI
Pada bentuk ini, Negara yang menjadi anggota dari Statuta MI yang
kemudian beracara di MI dapat dalam waktu yang tidak ditentukan untuk
menyatakan ketundukannya ke MI[28],
jadi tanpa membuat perjanjian khusus terlebih dahulu atau bersifat compulsory
ipso facto.[29] Kurang
lebih ada 60 negara di dunia yang memakai cara ini untuk menerima jurisdiksi
dari MI. salah satu contoh adalah :
“I have the honour, by direction of the
Minister for Foreign Affairs, to declare on behalf of the Government of Japan,
that in conformity with paragraph 2 of Article 36 of the Statute of the
International Court of Justice, Japan recognizes as compulsory ipso facto and
without special agreement, in relation to any other State accepting the same
obligation and on condition of reciprocity, the jurisdiction of the
International Court of Justice, over all disputes which arise on and after the
date of the present declaration with regard to situations or facts subsequent
to the same date and which are not settled by other means of peaceful
settlement. This declaration does not apply to disputes which the parties
thereto have agreed or shall agree to refer for final and binding decision to
arbitration or judicial settlement. This declaration shall remain in force
for a period of five years and thereafter until it may be terminated by a
written notice”.[30]
3.4
Keputusan MI tentang
Jurisdiksi MI
Jika terjadi sengketa mengenai jurisdiksi MI
maka sengketa tersebut akan diselesaikan oleh keputusan MI sendiri.[31]
Para pihak dapat mengajukan preliminary objections
atau keberatan awal atas jurisdiksi MI.[32]
Ada 26 kasus
dimana diajukan keberatan awal atas jurisdiksi MI.[33]
3.5
Interpretasi Putusan
Jurisdiksi MI dilihat dari Statuta MI, Pasal 60, dimana MI harus
memberikan interpretasi jika diminta oleh baik satu maupun kedua pihak yang
beracara. Cara permintaan interpretasi putusan tersebut dapat dalam bentuk
perjanjian khusus antara para pihak yang bersengketa, ataupun aplikasi sendiri
dari salah satu pihak yang bersengketa.[34]
Contoh kasus interpretasi putusan dilakukan oleh negara Kolombia pada kasus Asylum
antara Kolombia melawan Peru dan juga negara Nigeria dalam kasus Land and
Maritime Boundary antara Nigeria melawan Kamerun
3.6
Revisi Putusan
Ketundukan pada jurisdiksi MI dengan cara ini adalah melalui
aplikasi dengan syarat bahwa ada fakta baru (novum) yang belum diketahui MI dan
para pihak ketika keputusan itu dibuat dan bukan karena ada unsur kesengajaan
dari para pihak.[35] Jangka
waktu yang diberikan untuk revisi putusan adalah 10 tahun sejak keputusan
dikeluarkan. Contoh untuk kasus revisi putusan adalah pada kasus Continental
Shelf yang diajukan oleh negara Tunisia (Tunisia melawan Libya Arab
Jamahiriya)
4
Urutan Beracara di MI
Secara umum mekanisme beracara di
MI akan dijelaskan berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi bahwa
mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya contentious.
4.1
Penyerahan
Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi
(Application)
Bagian
awal proses beracara dapat dilakukan dengan penyerahan perjanjian khusus
(bilateral) antara kedua belah pihak untuk menerima jurisdiksi MI. Perjanjian
khusus ini harus berisikan inti sengketa dan identitas para pihak.[36]
Karena tidak ada pembagian sebelumnya
apakah negara A disebut sebagai Respondent atau Applicant, maka
MI membedakan para pihak dengan cara memakai stroke oblique atau garis
miring pembeda, contoh Indonesia/Malaysia.
Selain
penyerahan perjanjian, juga ada bentuk lain proses awal beracara di MI, yaitu
dengan penyerahan aplikasi (unilateral) oleh salah satu pihak. Pihak yang
menyerahkan aplikasi berisikan identitas, Negara yang menjadi pihak lawan dan
subjek dari konflik[37],
disebut sebagai Applicant. Sementara negara yang lain disebut Respondent.
Untuk bentuk ini, MI menggunakan singkatan v. atau versus dalam bahasa
latinnya guna membedakan para pihak yang bersengketa, contoh Indonesia v. Malaysia
Perjanjian
khusus atau aplikasi tersebut biasanya ditandatangani oleh wakil atau agent[38]
yang dilampirkan juga surat
dari Menteri Luar Negeri atau Duta Besar di Hague dari negara yang
bersangkutan.
Setelah
diterima oleh Registrar (selanjutnya register) MI dan dilengkapi kekurangan-kekurangan
jika ada sesuai dengan statuta MI dan Aturan Mahkamah, maka register MI akan
mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut ke kedua belah pihak dan negara
anggota dari MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar Umum
Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan diteruskan dengan press
release. Versi dua bahasa[39]
(Perancis dan Inggris) dari perjanjian atau aplikasi tersebut setelah didaftar,
dialih-bahasakan dan dicetak, akan dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB, negara
yang mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang yang memintanya.[40]
Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh register adalah tanggal
permulaan dimulainya proses beracara di MI.
Setelah
tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di MI, maka
tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis
(written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings).[41]
Pada dasarnya, MI memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis
pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis[42]
maupun presentasi pembelaan.[43]
4.2
Pembelaan
Tertulis (Written Pleadings)
Pada
tahap ini urutan pembelaannya jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik
dalam hal perjanjian khusus maupun aplikasi, adalah Memorial dan Tanggapan
Memorial (Counter Memorial).[44]
Jika ternyata para pihak meminta
kesempatan pertimbangan dan MI menyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk
memberikan Jawaban (Reply).[45]
Batasan
waktu yang diberikan untuk menyusun memorial maupun tanggapan memorial
ditentukan secara sama oleh MI, jika kedua belah pihak tidak mengaturnya.
Ketentuan yang serupa juga berlaku dalam hal pemilihan bahasa resmi yang
nantinya akan dipakai.
Sebuah
memorial harus berisikan sebuah pernyataan fakta, hukum yang relevan dan submissions[46]
yang diminta, sedangkan tanggapan memorial harus berisikan argumen pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memorial,
tambahan fakta baru jika diperlukan, jawaban atas pernyataan hukum memorial dan
petitum yang diminta.[47]
Dokumen pendukung biasanya langsung menyertai memorial, akan tetapi jika
dokumen tersebut terlalu panjang, maka dimasukan ke dalam lampiran. Di dalam
tahap tertulis ini, MI dapat meminta dokumen dan penjelasan yang relevan dari
para pihak yang bersengketa[48]
4.3
Presentasi
Pembelaan (Oral Pleadings)
Setelah
pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka
dimulailah proses presentasi pembelaan atau oral pleadings. MI
menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan
dari MI dan para pihak. Tahap ini bersifat terbuka untuk umum atau open for
public, jika para pihak tidak menentukan lain dan disetujui oleh MI.[49]
Para
pihak mendapat dua kali kesempatan untuk memberikan presentasi
pembelaan di depan MI. Jika para pihak menginginkan pengunaan bahasa
selain bahasa resmi dari MI,[50]
maka pihak tersebut harus memberitahukan terlebih dahulu kepada register guna
dipersiapkan terjemahan simultan yang telah dilakukan sejak 1965.[51]
Waktu
untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika MI
beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untuk hearing tersebut
dapat diperpanjang.[52]
Akan tetapi menurut Aturan Mahkamah 1978, pasal 60, proses hearing tersebut
berada dibawah pengawasan MI dan waktu hearing disesuaikan dengan pertimbangan
MI,
“The oral statements made on behalf of each
party shall be as succinct as possible within the limits of what is requisite
for the adequate presentation of that party's contentions at the hearing.
Accordingly, they shall be directed to the issues that still divide the
parties, and shall not go over the whole ground covered by the pleadings, or
merely repeat the facts and arguments these contain. The Court may at any time
prior to or during the hearing indicate any points or issues to which it would
like the parties specially to address themselves, or on which it considers that
there has been sufficient argument."
4.4
Perihal
Khusus
Selain dari proses normal beracara
di MI, juga ada perihal khusus yang dapat mempengaruhi jalannya proses beracara
tersebut. Perihal tersebut adalah Keberatan Awal atau Preliminary Objection,
Ketidakhadiran Salah Satu Pihak atau Non-Appearance, Keputusan
Sela/Sementara atau Provisional Measures, Beracara Bersama atau Joinder
Proceedings dan Intervensi atau Intervention.
4.4.1 Keberatan Awal (Preliminary
Objections)
Keberatan awal diajukan oleh pihak
yang dituduhkan atau respondent atas dasar aplikasi yang diajukan oleh
pihak applicant untuk mencegah MI dari proses pengambilan keputusan.
Adapun alasan yang biasanya digunakan untuk melakukan Keberatan Awal ini adalah
bahwa MI tidak mempunyai jurisdiksi,[53]
aplikasi yang diajukan tidak sempurna dan hal lain yang dianggap signifikan
oleh MI. Adapun keputusan MI berkenaan dengan Keberatan Awal ini adalah antara
lain bahwa MI akan menerima Keberatan Awal tersebut kemudian menutup kasus yang
diajukan dan menolak kemudian meneruskan proses beracara Keberatan Awal ini diatur
dalam pasal 79 Aturan Mahkamah 1978.
4.4.2 Ketidakhadiran Salah Satu Pihak
(Non-Appearance)
Non-Appearance biasanya dilakukan oleh pihak respondent
dengan dasar antara lain menolak jurisdiksi MI. Akan tetapi ketidakhadiran
pihak respondent ini tidak menghentikan jalannya proses beracara di MI.[54]
Proses normal beracara baik tertulis maupun presentasi akan terus berjalan yang
kemudian diberikan keputusan MI.
4.4.3 Keputusan Sela/Sementara
(Provisional Measures)
Jika pada suatu waktu dalam proses
beracara terjadi hal-hal yang akan membahayakan subjek dari applikasi yang
diajukan, maka pihak applicant dapat meminta MI untuk mengindikasikan
usaha-usaha perlindungan (interim measures of protection) atau keputusan sela
(provisional measures). MI dapat meminta para pihak untuk tidak melakukan
hal-hal yang dapat membahayakan efektifitas keputusan MI atas permintaan
Keputusan Sela tersebut.[55]
Ketentuan mengenai Keputusan Sementara ini diatur di dalam Aturan Mahkamah
pasal 73-78
4.4.4 Beracara Bersama (Joinder
Proceedings)
Jika MI menemukan bahwa ada dua
pihak atau lebih dari proses beracara yang berbeda, akan tetapi mempunyai
argumen dan petitum yang sama atas satu pihak lawan yang sama, maka MI dapat
memerintahkan adanya proses beracara bersama (joinder proceedings).[56]
Para pihak tersebut hanya bisa mempunyai satu
hakim ad hoc[57]
dengan satu pembelaan baik tertulis maupun presentasi yang digabung untuk
melawan satu pihak yang sama.
4.4.5 Intervensi (Intervention)
MI memberikan hak kepada Negara
lain (non-disputant party) yang bukan pihak dari sengketa di MI untuk melakukan
intervensi atas sengketa yang diajukan[58].
Hak ini dapat diajukan jika Negara tersebut beranggapan bahwa ada kepentingan
dari sisi hukum atau legal nature interest yang akan terkena dengan
adanya keputusan dari MI.[59]
Lebih jauh mengenai intervensi ini akan dibahas pada bab berikutnya.
4.5
Keputusan
(Judgment)
Selain itu pendapat hakim MI
dibagi atas tiga bagian, yaitu pendapat yang menolak atau dissenting opinion,
pendapat yang menyetujui tetapi berbeda dalam hal tertentu atau separate
opinions[62] dan
pendapat yang menyetujui atau declarations.
Bab III
HAK INTERVENSI PADA MAHKAMAH INTERNASIONAL
1
Definisi
Umum
Secara umum, tidak ada perbedaan definisi hak intervensi dalam
kerangka hukum nasional maupun hukum internasional. Turunan atau derivasi kata
intervensi dalam bahasa Inggris yang relevan pada karya tulis ini adalah intervention
atau intervensi dalam bentuk kata benda dan intervene atau
meng-intervensi dalam bentuk kata kerja. Kedua kata turunan ini mempunyai arti
yang berbeda. Arti kata intervention lebih menekankan pada sebuah
prosedur, sedangkan kata intervene lebih menekankan pada perbuatan untuk
mendapatkan ijin dari pengadilan untuk melakukan intervensi, intervensi adalah
sebuah cara yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk ikut serta atas
kepentingannya dalam sebuah proses beracara yang sedang berlangsung,
“ Intervention is the procedure under
which a third party may join an on-going lawsuit, providing the facts and the
law issues apply to the intervenor as much as to one of the existing
contestants. The determination to allow intervention is made by a judge after a
petition to intervene and a hearing on the issue. Intervention must take place
fairly early in the lawsuit, shortly after a complaint and answer have been
filed and not just before trial since that could prejudice one or both parties
who have prepared for trial on the basis of the original litigants.
Intervention is not to be confused with joinder, which involves requiring all
parties who have similar claims to join in the same lawsuit to prevent needless
repetitious trials based on the same facts and legal questions, called
multiplicity of actions”[63]
“To intervene is to obtain the court's
permission to enter into a lawsuit which has already started between other
parties and to file a complaint stating the basis for a claim in the existing
lawsuit. Such intervention will be allowed only if the party wanting to enter
into the case has some right or interest in the suit and will not unduly
prejudice the ability of the original parties to the lawsuit to conduct their
case”[64]
Perbedaan mendasar yang menjadi
karakter hak intervensi dalam hukum internasional adalah ketundukan pihak yang
melakukan intervensi. Jika kita mengambil pandangan dari sisi hukum nasional,
intervensi dilakukan dengan dua cara yaitu sukarela atau voluntary dan wajib
atau oligatory. Hal ini berbeda jika kita mengambil pandangan dari hukum
internasional berkenaan dengan intervensi, yaitu dilakukan secara sukarela atau
voluntary atas dasar konsesualisme[65]
Sekilas persamaan hak intervensi
dalam kerangka hukum nasional dan hukum internasional adalah bahwa hak
intervensi sama-sama didasarkan dari kebutuhan untuk menghindari penuntutan
ulang atau repetitive litigation.[66]
Jika ada beberapa kasus membahas permasalahan yang sama, maka hampir dapat
dipastikan bahwa akan terjadi hasil yang bertentangan atau contradictory.
Hal ini hanya akan memberikan ketidakjelasan hukum atau law obscurity
dari hukum yang berlaku. Hakim Oda melihat kepentingan intervensi dalam hal
penuntutan ulang ini dari segi economy of international justice, menunjuk
pada sisi kemudahan beracara.[67]
Sejarah intervensi dalam kerangka
hukum internasional dimulai pada tahun 1899 dan 1907 ketika perumusan konvensi
multilateral tentang Pacific Settlement of International Disputes di Den
Hag, Belanda.[68]
Kemudian pada tahun 1920, jenis kedua dari intervensi terbentuk. Ketentuan
bahwa sebuah Negara dapat melakukan intervensi jika kepentingan Negara
tersebut terkena dampak dari sebuah
putusan mahkamah, termaktub di dalam pasal 62 Statuta PCIJ. Dari titik ini hak
intervensi kemudian berkembang seiring dengan
kasus-kasus yang diajukan. Perlu diingat bahwa MI menganut system precedent,
yaitu sistem yang memakai putusan-putusan terdahulunya atau past decisions
sebagai bahan pertimbangan untuk keputusan yang akan diambil.[69]
Kasus intervensi yang pertama
adalah kasus tentang Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamihiriya
pada tanggal 14 April 1981 .
Di dalam kasus ini MI memutuskan secara mutlak untuk menolak aplikasi
intervensi Negara Malta . Kasus yang kedua tentang intervensi adalah
kasus Continental Shelf antara Libya Arab Jamahiriya dengan Malta pada tanggal 21 Maret 1985, dimana MI kembali menolak aplikasi Negara Italia
untuk melakukan intervensi. Keputusan kasus ke 2 diambil secara voting
dengan 11 melawan 5 suara, berbeda dengan kasus yang pertama dimana secara
mutlak menolak aplikasi Negara Malta.
Hak intervensi dalam hukum
internasional mengalami perkembangan pada kasus ketiga, dimana aplikasi Negara
Nikaragua di dalam kasus Land, Island and Maritime Frontier Dispute
dikabulkan oleh MI. Keputusan yang
dikeluarkan pada tanggal 13 September 1990, diambil secara mutlak atau unanimous.
Keputusan sama yang mengabulkan intervensi oleh Negara ketiga kembali
dikeluarkan pada kasus Land and Maritime Boundary antara Negara Kamerun
dan Nigeria
tertanggal 21 Oktober 1999. Dalam kasus ini Negara Equatorial Guinea mendapat
ijin untuk melakukan intervensi pada kasus diatas.
Kasus yang paling akhir berkenaan
dengan intervensi adalah kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan,
2001 antara Negara Malaysia dan Indonesia. Di dalam kasus ini Negara Filipina
megajukan hak intervensinya berkenaan dengan klaim Kalimantan Utara (North Borneo ). MI, dengan voting 14 melawan 1
suara, menolak aplikasi Negara Filipina untuk melakukan intervensi.
2
Hukum Internasional tentang Intervensi
2.1. Aliran yang
mendukung intervensi.
Aliran ini mempunyai
pendapat antara lain sebagai berikut, pertama dari segi efektifitas. Intervensi
akan berguna dalam arti baik yang menghilangkan kasus-kasus yang mempunyai
objek sama maupun keputusan yang berbeda dalam kasus yang sama.
Kedua dari segi kepentingan umum, yaitu tentang
waktu penyelesaian kasus untuk menghindari kemungkinan kontorversi yang ada
atau Interest rei publicae ut sit finis litium.[70]
Kemudian jika melihat dari perkembangan hukum internasional, Intervensi bukan
hanya menyelesaikan sengketa (Solving) akan tetapi juga pencegahan sengketa
(Prevention).
Lebih
jauh, intervensi memberikan MI kesempatan yang lebih banyak dalam rangka
menarik negara-negara untuk menggunakan MI sebagai penyelesaian sengketa.[71]
Selain itu, intervensi juga memberikan MI pertimbangan hukum yang lebih
objektif dengan masuknya pihak ketiga ke dalam proses beracara yang tengah
berlangsung.
2.2 Aliran yang menolak intervensi
Aliran ini mempunyai
pendapat sebagai berikut, pertama evolusi sejarah memperlihatkan bahwa hukum
internasional lebih memilih diam atau reticence berkenaan dengan
intervensi pihak ketiga di dalam sebuah penyelesaian hukum.[72]
Kedua, jika dilihat
dari sisi Negara yang melakukan intervensi ketika hak intervensi tidak
dibatasi, maka kemungkinan negara ketiga untuk melakukan intervensi akan lebih
banyak.[73]
Kemudian pihak ketiga dapat memanipulasi hak intervensi dengan cara mendapatkan
quasi-advisory opinion, tetapi tidak terikat untuk melaksanakan
kewajiban dari keputusan MI.[74]
Sebaliknya, jika
dilihat dari sisi Negara yang melakukan proses beracaranya, intervensi akan
menyebabkan Negara cenderung untuk tidak menggunakan MI sebagai penyelesaian
sengketa jika intervensi tidak dibatasi. Dan yang terakhir, walaupun keputusan
MI hanya mengikat pihak yang bersengketa, akan tetapi pada faktanya pihak
ketiga dapat terkena dampak putusan MI
2
Jenis
Intervensi dan Dasar Hukum
MI membagi hak intervensi dalam
dua ketegori yaitu, hak intervensi sebuah Negara atas keputusan sebuah kasus MI
dan atas konstruksi sebuah perjanjian internasional.
3.1
Intervensi
atas keputusan sebuah kasus MI
Secara preseden, kasus pertama
intervensi jenis ini dilakukan dihadapan MI pada tahun 1981, kasus Continental
Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamahiriya, dimana Negara malta sebagai
pihak yang melakukan intervensi. Jenis intervensi ini diatur di dalam pasal 62
dari statuta MI, yaitu :
“Should a state consider that it has an
interest of a legal nature which may be affected by the decision in the case,
it may submit a request to the Court to be permitted to intervene”[75]
“It shall be for the Court to decide upon
this request”[76]
Lebih jauh lagi, hak intervensi
jenis ini diatur dalam Aturan Mahkamah, 1978 di dalam pasal 81, 83, 84 dan
85. Mengacu dari pasal-pasal tersebut
diatas, pengajuan hak intervensi harus mengandung tiga hal, yaitu kepentingan
yang mempunyai karakter hukum atau “interest of legal nature”, objek
yang jelas dan pasti atau “precise object” dan hubungan jurisdiksi atau
“jurisdictional link”.
3.1.1
Kepentingan
yang mempunyai karakter hukum
Kelemahan atau plaucity dari
elemen ini adalah bahwa tidak ada definisi yang jelas, dalam hukum
internasional yang berkenaan dengan kata “interest of legal nature”.[77] Setiap Negara bebas menginterpretasikan
kepentingannya dalam mengajukan hak intervensi berkenaan dengan kasus yang
sedang berlangsung di MI. Hakim ad hoc Weeramantry dalam kasus
Sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan memberikan pernyataan yang sama
berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang mempunyai karakter hukum. Akan
tetapi, ada beberapa pedoman yang telah berkembang di dalam hukum internasional
tentang intervensi, yaitu :
3.1.1.1 Kepentingan umum yang mungkin
mendapatkan dampak dari keputusan MI[78]
3.1.1.2 Kepentingan politik atau sosial[79]
3.1.1.3 Kepentingan tentang perkembangan
umum dari hukum atau “general development of law”[80]
3.1.1.4 Kepentingan tentang penggunaan
prinsip dan aturan umum hukum
internasional pada kasus yang dimintakan intervensi[81]
3.1.1.5 Kepentingan tentang hukum yang
dipakai MI di dalam kasus lain[82]
3.1.2
Objek
yang jelas dan pasti
Elemen ini lebih menekankan pada
diskresi dari MI atas pengajuan sebuah intervensi. Tidak ada, baik aturan
maupun preseden MI yang mengatur lebih lanjut berkenaan dengan objek yang jelas
dan pasti dalam hak intervensi.
3.1.3 Hubungan Jurisdiksi
3.1.3.1 Persetujuan dari pihak yang
bersengketa
“the voluntary intervention of a
third party is admissible only with the consent of the parties that have
concluded the compromise”[83]
Kemudian paradigma ini berubah
seiring dengan perkembangan hukum internasional. Pasal 62 dari Statuta MI tidak
menyebutkan adanya keharusan untuk mendapat persetujuan dari pihak yang
bersengketa guna melakukan sebuah hak intervensi.[84]
Jika sebuah Negara beranggapan bahwa kepentingannya akan terkena dampak dari
sebuah keputusan MI, maka Negara tersebut mempunyai hak untuk melakukan
intervensi.
3.1.3.2 Kekuatan mengikat putusan MI
terhadap pihak yang mengajukan intervensi
Tidak ada ketentuan yang
menyebutkan adanya keharusan untuk menjadi party dalam proses beracara
bagi pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pihak ketiga dapat memilih untuk
menjadi full party atau tidak dalam pengajuan intervensinya. Konsekwensi
yang timbul akibat kondisi ini adalah bahwa sebuah Negara yang melakukan
intervensi tetapi tidak consent untuk menjadi full party tidak
terikat pada keputusan MI yang dibuat.
“a state permitted to intervene
under Article 62 of the statute, but which does not acquire the status of party
to the case, is not bound by the judgment in the proceedings in which it has
intervened”[85]
Keputusan MI hanya mengikat pada
pihak yang bersengketa dan pada kasus yang tersebut saja.[86]
Akan tetapi jika hakim Oda berpendapat bahwa pihak ketiga tidak akan mendapat
keadilan yang sama dibanding dengan pihak yang bersengketa jika tidak menjadi full party di dalam
kasus yang sedang diproses,
“the intervening state will thus
been able to protect its own rights merely so far as the judgment declines to
recognize as countervailing the rights of either of the original litigant
states. On the other hand, to the extent that the Court gives judgment
positively recognizing rights of either of the litigant states, the intervening
state will certainly lose all present or future claims in conflict with those
rights.”[87]
Menjadi full party atau
tidak, nampaknya bukan suatu hal yang berpengaruh positif kepada pihak ketiga.
Hal ini disebabkan karena walaupun pihak ketiga menyatakan tidak menjadi full
party pada kasus yang sedang diproses,
pihak ketiga tetap akan bound pada keputusan MI tersebut. Di
dalam preseden kasus yang berkenaan intervensi, hakim Oda berpendapat bahwa,
“Nicaragua, as a non-party
intervener, will certainly be bound by the judgment in so far as it relates to
the legal situation of the maritime spaces of the Gulf”[88]
Belum ada konsensus para hakim MI
tentang urgensi adanya hubungan jurisdiksi dalam pengajuan hak intervensi jenis
ini yang akan membawa pengaruh yang
signifikan dalam penentuan apakah sebuah hak intervensi dapat dikabulkan atau
tidak.[89]
3.2
Intervensi
atas konstruksi sebuah perjanjian internasional
Kasus pertama mengenai intervensi
jenis ini terjadi di kasus S.S. Wimbledon.[90]
Pasal 63 dari Statuta MI menyebutkan,
“Whenever the construction of a convention to
which states other than those concerned in the case are parties is in question,
the Registrar shall notify all such states forthwith”.[91]
“Every state so notified has the right to
intervene in the proceedings; but if it uses this right, the construction given
by the judgment will be equally binding upon it”.[92]
Ketentuan lain yang
mengatur hak intervensi jenis ini terdapat dalam Aturan Mahkamah, 1978, pasal
82, 83, 84, 86. Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa hak intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional
mempunyai elemen-elemen yaitu, pertama hanya Negara yang menjadi party
dari konvensi yang dapat mengajukan hak intervensi jenis ini, dan kedua
keputusan MI yang diambil mengikat kepada pihak yang melakukan intervensi
seperti pada pihak yang beracara di sengketa tersebut.
Berbeda dengan jenis
intervensi yang pertama, intervensi atas dasar konstruksi perjanjian
internasional ini belum membawa perdebatan yang substantial. Hal ini mungkin
lebih disebabkan oleh sedikitnya kasus yang berkenaan dengan jenis intervensi
ini.
Hubungan jurisdiksi
tidak menjadi isu yang signifikan karena ketentuan yang jelas bahwa hanya
Negara yang party dari perjanjian tersebut yang dapat melakukan
intervensi. Selain itu keputusan MI pada pihak yang melakukan intervensi jenis
ini, mengikat seperti pada pihak yang beracara, jadi sifat dari intervensi ini
adalah obligatory setelah consent untuk melakukan intervensi. Hal
ini berbeda dengan jenis intervensi atas dasar impact keputusan MI yang
diberikan pilihan untuk tunduk atau tidak sebagai party dalam kasus yang
sedang berjalan.
4
Mekanisme untuk
Mengajukan Hak Intervensi
Untuk lebih memudahkan,
pembahasan tentang mekanisme mengajukan hak intervensi dibagi atas dua bagian
sesuai dengan jenis intervensi yang diatur di dalam pasal 62 dan 63 dari
statuta MI. Baik jenis intervensi atas dasar sebuah keputusan MI ataupun atas
dasar konstruksi perjanjian internasional, ketentuan pasal 38 dari Aturan
Mahkamah tentang permulaan beracara atau institution of Proceedings
harus diikuti
4.1
Intervensi
atas dasar sebuah keputusan MI
4.1.1
Aplikasi
Intervensi
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus
berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
4.1.1.1 Nama wakil yang mengajukan
aplikasi
4.1.1.2 Kepentingan yang mempunyai
karakter hukum
4.1.1.3 Objek yang jelas dan pasti
4.1.1.4 Dasar jurisdiksi atau hubungan
jurisdiksi yang diklaim antara pihak yang mengintervensi dan pihak yang
bersengketa
4.1.1.5 Dokumen pendukung yang relevan[93]
4.1.2
Waktu
Pengajuan
Waktu pengajuan yang
diperbolehkan dalam intervensi jenis ini adalah secepat mungkin atau as soon
as possible dan sebelum waktu pembelaan
tertulis atau written proceedings ditutup. Pengecualian untuk kondisi
tertentu, exceptional circumstances, aplikasi dapat diajukan pada tahap
yang berikutnya[94]
4.2
Intervensi
atas dasar konstruksi Perjanjian Internasional
4.2.1
Aplikasi
Intervensi
Sebuah aplikasi
intervensi jenis ini harus berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
4.2.1.1 Nama Wakil yang mengajukan
aplikasi
4.2.1.2 Ketentuan yang menyebutkan bahwa
Negara yang melakukan intervensi adalah party dari konvensi yang menjadi
objek sengketa
4.2.1.3 Identifikasi dari ketentuan
konvensi yang menjadi objek intervensi
4.2.1.4 Pernyataan atau pendapat tentang
objek intervensi
4.2.1.5 Dokumen pendukung yang relevan[95]
4.2.2
Waktu
Pengajuan
Waktu pengajuan yang
diperbolehkan pada dasarnya sama dengan intervensi jenis pertama (pasal 62)
yaitu secepat mungkin dan sebelum tanggal dimulainya pembelaan presentasi atau oral
presentation. Kondisi pengecualian seperti pada intervensi jenis pertama
juga berlaku pada jenis intervensi ini[96]
Setelah diajukan,
register akan mengatur pembagian administratif dari aplikasi tersebut yang
kemudian MI akan menentukan tanggal dimana para pihak yang bersengketa akan
memberikan pendapat tertulis mereka atau written observations. Jika
terjadi keberatan atau objection dari baik satu maupun pihak yang
bersengketa atas intervensi yang diajukan, maka MI akan mendengarkan seluruh
pendapat dari para pihak yang bersengketa dan pihak yang mengintervensi.[97]
Jika intervensi atas
dasar keputusan MI dikabulkan atau granted, maka pihak yang melakukan
intervensi akan diberikan salinan pembelaan para pihak yang bersengketa. Selain
itu pihak yang melakukan intervensi juga dapat memberikan pernyataan tertulis, written
statement, dalam waktu yang ditentukan MI. Para pihak yang bersengketa
berhak memberikan pendapat tertulis atas pernyataan tertulis dari pihak yang
melakukan intervensi, dengan jangka waktu yang ditentukan oleh MI sebelum
dimulainya waktu presentasi pembelaan. Pada waktu presentasi pembelaan, pihak
yang melakukan intervensi dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek
sengketa.[98]
Jika intervensi atas
dasar konstruksi perjanjian internasional diterima atau admitted, maka
pihak yang melakukan intervensi akan diberikan salinan pembelaan para pihak
yang bersengketa dan berhak memberikan pendapat tertulisnya berkenaan dengan
objek dari intervensi yang bersangkutan
dalam waktu yang ditentukan MI. Pada waktu presentasi pembelaan, pihak yang
melakukan intervensi dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek
intervensi.[99]
Bab IV
STUDI KASUS HAK INTERVENSI
1.1.
Posisi
dan Keputusan Intervensi
Kasus
ini dimulai tanggal 1 Desember 1978 antara Tunisia dan Libya Arab Jamahiriya.
Subjek yang diajukan ke MI adalah mengenai perbatasan dasar benua atau delimitation
of continental shelf antar kedua Negara tersebut. Pada tanggal 30 Januari
1981, Malta mengajukan intervensi atas kasus tersebut dengan dasar pasal 62
dari ketentuan Statuta MI. Keberatan atas intervensi ini diajukan oleh kedua
belah pihak yang bersengketa. Setelah melalui proses hearing, kemudian
MI memutuskan untuk menolak intervensi yang diajukan Malta secara mutlak atau unanimous
dengan Keputusan MI tertanggal 14
April 1981 .
1.2.
Analisa
Kasus
Mengacu
kepada ketentuan Aturan Mahkamah, 1978 pasal 81 paragraf 2 tentang intervensi,
setiap Negara ketiga yang bermaksud untuk mengajukan hak intervensi harus
mencantumkan kepentingan hukum atau interest of legal nature, objek yang
jelas dan pasti atau precise object of intervention dan dasar hubungan
jurisdiksi atau base for jurisdictional link. Setelah melihat aplikasi intervensi
Malta
dan keberatan-keberatan yang diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa,
MI sampai pada satu kesimpulan jika salah satu keberatan yang diajukan
terbukti, maka MI tidak akan melanjutkan untuk membuktikan keberatan-keberatan
yang lain dan menolak intervensi Malta .
Pada
dasarnya Malta
mengklaim mempunyai kepentingan pada kemungkinan-kemungkinan atau possible
concern dari MI yang akan mengindentifikasi dan mempelajari faktor-faktor
geografis dan geomorfis dari dasar benua yang disengketakan,
“Any findings of the Court that identified and assessed the
geographical and geomorphological factors relevant to the delimitation of the
Libya/Tunisia continental shelf and with any pronouncements made by the Court
regarding, for example, the significance of special circumstances or the
application of equitable principles in that delimitation”[101]
Lebih
jauh lagi, possible concern itu juga dapat berupa keputusan-keputusan MI
yang akan memberikan dampak terhadap hak dan kepentingan hukum Malta jika Malta
bermaksud untuk membuat batas dasar benua terhadap salah satu atau kedua pihak
yang bersengketa. Selain itu Malta juga
membuat reservasi tertulis yang menyatakan bahwa intervensi yang dilakukannya
tidak dimaksudkan untuk membuat klaim baru atas subjek yang disengketa-kan.
Melihat dari tanggal pengajuan, Malta
tidak melewati waktu pengajuan intervensi, yaitu sebelum berakhirnya waktu
pembelaan tertulis.[102]
Berdasarkan
permintaan tersebut MI berpandangan bahwa aplikasi yang diajukan Malta adalah
sebuah kesempatan untuk melawan keputusan MI dalam penggunaan suatu kriteria
tertentu atas kasus tersebut. Kemudian
MI memutuskan jika intervensi atas dasar ini dikabulkan, maka akan terjadi
ketidakpastian hukum dari para pihak yang bersengketa, yaitu batasan atas kepentingan
hukum yang harus diajukan jika salah satu pihak ikut beracara tanpa ada klaim
yang dipertahankan atas subjek sengketa. Selanjutnya MI berpendapat bahwa
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi atau future implications tidak
dapat dijadikan kepentingan dari sisi hukum untuk pengajuan sebuah intervensi.
MI mengambil dasar pada putusan PCIJ tahun 1922 yang menjadi pedoman MI yaitu
untuk tidak berusaha menyelesaikan permasalahan yang mungkin terjadi,
“It should not attempt to resolve
in the Rules of the Court the various questions which have been raised, but
leave them to be decided as and when they occurred in practice and in the light
of the circumstances of each particular case”[103]
Syarat
kedua dan ketiga dari intervensi yaitu precise object dan jurisdictional
link, tidak dilanjutkan dibahas oleh MI karena salah satu keberatan yang
diajukan kedua pihak yang bersengketa telah terbukti.
Keputusan
MI yang menolak intervensi Malta adalah cukup rasional, walaupun secara
geografis letak Negara Malta dapat terkena dampak seperti yang dimaksud dalam
pasal 62 statuta MI. Kepastian hukum tidak akan ada jika ada sebuah Negara
ketiga yang ikut beracara tanpa ada klaim atau petitum atas subjek sengketa.[104]
Harus
juga diingat bahwa kasus Intervensi Malta ini adalah kasus pertama yang
berkenaan dengan jenis intervensi pasal 62 atau intervensi atas dasar keputusan
MI yang diajukan ke MI. Penerapan ketat yang dilakukan MI atas pasal 62 pada
kasus ini menggambarkan pandangan hukum internasional yang masih cenderung menolak
kehadiran pihak ketiga untuk ikut beracara dalam sebuah penyelesaian sengketa.[105]
2.1.
Posisi
dan Keputusan Intervensi
Kasus
kedua berkenaan dengan intervensi masih berkisar tentang batas kontinen, yang
kali ini diajukan oleh Libya Arab Jamahiriya dan Malta . Berdasarkan pada perjanjian
khusus kedua belah pihak, pemberitahuan bersama atau joint notification
disampaikan kepada register MI pada tanggal 26 Juli 1982. Pada tanggal 24
Oktober Negara Italia mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 dari
statuta MI. Proses hearing yang mendengarkan pendapat dari para pihak
dan pihak ketiga dimulai tanggal 25 Januari 1984. Kemudian pada tanggal 21
Maret 1984, MI mengeluarkan keputusan untuk menolak aplikasi intervensi Italia
dengan perbandingan suara 11 melawan 5.
2.2.
Analisa
Kasus
Pengajuan
intervensi yang dilakukan Italia memenuhi persyaratan formal untuk sebuah
intervensi.[107] Dalam
kasus ini, MI tidak memberikan pendapat tentang syarat yang ketiga yaitu jurisdictional
link. Hal ini dilakukan atas dasar bahwa syarat pertama dan kedua telah
tidak terpenuhi dalam aplikasi intervensi dari Italia. Selain itu, alasan MI
menolak untuk memutuskan tentang status jurisdictional link dari Italia
adalah karena mengadopsi preseden yang telah diambil pada kasus sebelumnya,
yaitu intervensi dari Malta
pada tahun 1981.
2.2.1.
Kepentingan
Hukum atau Interest of a Legal Nature
Dari sisi ini, MI diminta untuk memberikan
perlindungan seperti yang termaktub dalam pasal 62 statuta MI dengan cara
mencegah dampak yang mungkin terjadi atas sebuah keputusan yang dikeluarkan.
Italia meminta MI untuk melindungi hak-haknya. Dari permintaan yang relatif
cukup umum ini membawa konsekwensi praktek beracara MI untuk mengindentifikasi
hak-hak dari Italia. Untuk mengindentifikasikan hak-hak dari Italia, maka MI
juga harus mengindentifikasi hak-hak dari baik Libya maupun Malta sebagai
pihak yang bersengketa.
Berdasarkan
permintaan ini, MI berpandangan bahwa untuk menentukan hak-hak Italia dan
hak-hak Negara yang bersengketa, secara otomatis akan melibatkan hubungan hukum
dari ketiga Negara tersebut. MI tidak dapat menilai hubungan hukum dari ketiga
Negara tersebut tanpa persetujuan yang Negara bersangkutan. Jika MI mengabulkan
intervensi Italia, berarti MI telah melanggar azas konsensualisme yang menjadi
dasar beracara di MI.[108]
2.2.2.
Objek
yang pasti dan jelas atau Precise Object of Intervention
Selain
akan membuat sengketa baru atau fresh dispute jika intervensi Italia
dikabulkan, objek yang diajukan Italia juga tidak termasuk dalam past
decisions dari MI yang berkenaan dengan intervensi. Kasus preseden MI
tentang intervensi hanya menunjuk pada perlindungan hak, bukan pada
identifikasi hak, seperti yang terjadi pada kasus Italia,
“…, since the only cases of
intervention afforded by that Article [62] would be those in which the
intervener was only seeking the preservation of its rights, without attempting
to have them recognized.”[109]
MI
melihat objek intervensi dari Italia tidak masuk dalam kategori precise
object seperti dalam pasal 81 Aturan Mahkamah. Tidak ada dalam baik wording
maupun preseden MI yang mengatakan bahwa pasal 62 Statuta MI dimaksudkan
sebagai cara alternatif untuk mengajukan sengketa baru ke MI.
3. Kasus Land, Island
& Maritime Frontier Dispute (El Savador/Honduras), Intervensi
Nikaragua, 13 September 1990 [110]
3.1.
Posisi
dan Keputusan Intervensi
Kasus ini
diajukan kepada Register MI pada tanggal 11 Desember 1986, 2 tahun stelah kasus
intervensi Italia tahun 1984. Objek sengketa pada kasus ini adalah Teluk
Fonseca, yaitu batas daratan dan status hukum atas pulau dan daerah maritim
dari Negara Honduras
dan El Savador. Pada tanggal 17
November 1990 , Nikaragua mengajukan aplikasi intervensi dengan
dasar pasal 62 Statuta MI. Keputusan MI atas intervensi Nikaragua secara mutlak
adalah mengabulkan intervensi Nikaragua pada tanggal 13 September 1990 .
3.2.
Analisa
Kasus
Kasus
intervensi Nikaragua ini adalah kasus pertama dalam sejarah MI dimana sebuah
Negara ketiga dikabulkan untuk melakukan hak intervensinya. Di dalam kasus ini
juga mulai dapat disimpulkan bahwa MI tidak mempersoalkan hubungan jurisdiksi
dalam jenis intervensi pasal 62 (intervensi atas Keputusan MI).[111]
3.2.1.
Kepentingan
Hukum atau Interest of Legal Nature
Untuk
sebuah intervensi dapat dipertimbangkan, pihak ketiga harus memperlihatkan
adanya kepentingan hukum yang akan terkena dampak keputusan dari sebuah
sengketa yang sedang diajukan. Beban pembuktian atau burden of proof,
menurut hemat MI, berada pada pihak
ketiga yang melakukan intervensi, bukan di MI. Pembuktian yang dimaksud hanya
untuk memperlihatkan secara meyakinkan bahwa kepentingan hukumnya mungkin
akan terkena dampak keputusan yang akan diambil MI, bukan harus maupun
yang akan terkena dampak. Disini pembuktian hanya didasarkan pada
kemungkinan yang relatif lebih mudah untuk dibuktikan,
“In the Chamber’s opinion, it is
clear, first, that it is for a state seeking to intervene to demonstrate
convincingly what it asserts, and thus to bear the burden of proof, and second
that it has only to show that its interest “may” be affected not that it will
or must be affected”[112]
Di dalam
kasus intervensi Nikaragua ini, MI menentukan bahwa ada tiga klaim dimana
Nikaragua harus memperlihatkan kemungkinan terkena dampak keputusan MI, yaitu
Keadaan Hukum atau Legal Situations dari pulau-pulau, Perairan Dalam dan
Luar teluk Fonseca. Dari ketiga klaim tersebut, Nikaragua hanya mampu untuk
memenuhi satu klaim, yaitu berkenaan tentang kondisi hukum di perairan dalam
teluk. Akan tetapi , walaupun hanya satu klaim yang dapat dipenuhi, MI
mengabulkan intervensi dari Nikaragua ini.
Jika
melihat secara sejarah, memang Teluk Fonseca ini telah diputuskan oleh Central
American Court of Justice sebagai sebuah historic bay yang mempunyai
karakteristik sebuah laut tertutup atau closed sea. Lebih jauh lagi
diputuskan oleh institusi yang sama bahwa teluk Fonseca itu dimiliki oleh tiga
Negara secara bersama atau co-ownership, yaitu Negara El savador, Honduras dan
Nikaragua. Sesuai dengan pasal 38 statuta, MI mengambil keputusan ini sebagai subsidiary
means dan dianggap sebagai sebuah keputusan yang objektif.
3.2.2.
Objek
yang Jelas dan Pasti atau Precise Object of Intervention
Nikaragua mengajukan dua klaim untuk
persyaratan yang kedua ini, yaitu untuk melindungi hak-hak hukumnya dan untuk
memberikan informasi kepada MI berkenaan dengan hak-hak hukum Nikaragua atas
Teluk Fonseca,
“First, generally to protect the legal rights of the Republic of
Nicaragua in the Gulf of Fonseca and the adjacent maritime areas by all legal
means available, and second to intervene in the proceedings in order to inform
the Court of the nature of the legal rights of Nicaragua which are in issue in
the dispute. This form of intervention would have the conservative purpose of
seeking to ensure that the determination of the Chamber did not trench upon the
legal rights and interests of the Republic
of Nicaragua ..”[113]
Atas
pertimbangan MI, kedua klaim tersebut diputuskan sebagai objek yang sesuai
dengan persyaratan intervensi yang kedua yaitu precise
object of intervention. Secara logika, memang objek yang diajukan Nikaragua
relatif lebih mudah dan tidak membuat sebuah kasus baru atau fresh dispute
seperti yang diajukan oleh kasus-kasus intervensi yang terdahulu.
3.2.3.
Hubungan
Jurisdiksi atau Jurisdictional Link
Posisi MI
tetap sama berkenaan dengan persyaratan ketiga yaitu bahwa hubungan jurisdiksi
bukan sesuatu yang signifikan yang dapat mempengaruhi pertimbangan sebuah hak
intervensi. MI kembali menegaskan alur logika atau logical links bahwa
jika setiap Negara yang akan melakukan intervensi harus mempunyai hubungan
jurisdiksi dengan Negara yang bersengketa, maka akan terjadi pemaksaan
ketundukan ke MI, atau dengan kata lain bertentangan dengan asas konsesualisme
yang menjadi dasar proses beracara di MI.
Dari
seluruh reasoning MI yang berkenaan dengan hubungan jurisdiksi dalam hak
intervensi, maka dapat diambil sebuah pedoman umum yang menggambarkan sistem
hukum yang dipakai MI, yaitu system common law yang menekankan pada
sumber persuasif keputusan-keputusan sebelumnya. Pedoman itu terlihat dari
indikasi bahwa walaupun dalam aturan
mahkamah, 1978 jelas tertulis kata “shall” yang berarti suatu keharusan
bagi Negara ketiga untuk mempelihatkan hubungan jurisdiksi, tetapi dari
keputusan yang telah dibuatnya hubungan jurisdiksi bukan merupakan suatu yang
penting.[114]
4. Kasus Land & Maritime Boundary (Kamerun/Nigeria), Intervensi
Equatorial Guinea ,
21 Oktober 1999[115]
4.3.
Posisi
dan Keputusan Intervensi
Pihak
yang bersengketa dalam kasus ini adalah Nigeria dan Kamerun yang meminta MI
untuk memutuskan batas daerah dan maritim Bakassi Peninsula .
Kasus ini dimulai tanggal 29 Maret 1994 dengan Aplikasi Kamerun dimana Nigeria
mengajukan keberatan awal atau preliminary objection. Setelah Nigeria
memberikan consent ke MI, maka kemudian MI mulai memeriksa kasus yang
diajukan.
Lima
tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Juni 1999, Negara Equatorial Guinea
mengajukan intervensi dengan dasar pasal 62 yaitu intervensi atas keputusan MI.
Aplikasi hak intervensi Negara Equatorial Guine dikabulkan secara mutlak oleh
MI dengan putusannya tanggal 21 Oktober 1999.
4.4.
Analisa
Kasus
Salah
satu alasan yang cukup mendasar berkenaan tentang kasus ini adalah bahwa secara
tidak langsung Negara ketiga diundang atau invited untuk melakukan hak
intervensi dengan putusan MI tentang keberatan awal dari Nigeria,
“ The Court notes that the
geographical location of the territories of the other states bordering the Gulf
of Guinea…, demonstrates that it is evident that the prolongation of the
maritime zones where the rights and interests of Cameroon and Nigeria will
overlap those of other states.”[116]
Lebih jauh lagi, kedua Negara yang
bersengketa baik Kamerun maupun Nigeria
tidak mengajukan keberatan atas aplikasi intervensi yang diajukan oleh Equatorial Guinea .
Di sini Equatorial Guinea secara spesifik
menyatakan bahwa kepentingan hukumnya lebih terletak pada batas maritim dari Bakassi Peninsula . Pada poin ini, kembali kedua
Negara yang bersengketa tidak mengajukan keberatan atas hal tersebut,
“…which could allow the court to
better informed on the general background of the case and to determine more
completely the dispute submitted to it.”[117]
“Whether or not Equatorial Guinea ’s
application is accepted, it will in Nigeria ’s view make no difference
to the legal position of Nigeria
to the present proceedings, or to the jurisdiction of the court. On that basis,
Nigeria
leaves it to the court to judge whether and to what extent it is appropriate or
useful to grant Equatorial
Guinea ’s Application.”[118]
Pada
kasus ini, tidak lagi dibahas tentang convincing demonstration yang
diperlukan untuk memenusi syarat pertama ini, seperti pada kasus terdahulunya.
Dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwa MI mengabulkan aplikasi Equatorial Guinea
in advance dengan undangan tidak langsungnya kepada Negara ketiga untuk
melakukan intervensi.
Untuk
persyaratan yang kedua, posisi MI menjadi lebih permanen dengan menggunakan
dasar kasus terdahulunya berkenaan tentang precise object yaitu untuk
memberikan informasi agar MI dapat lebih memutus dengan objektif atas kasus
yang disengketakan. Hal yang sama juga dapat dilihat dari signifikansi hubungan
jurisdiksi yang tidak menjadi keharusan untuk pihak ketiga dalam melakukan hak
intervensi.
5. Kasus Sovereignty over Pulau
Sipadan & Ligitan (Malaysia/Indonesia), Intervensi Filipina, 12 Oktober
2001[119]
5.3.
Posisi
dan Keputusan Intervensi
5.4.
Analisa
Kasus
Sebelum
masuk ke pembahasan inti dari tiga persyaratan utama dalam pengajuan hak
intervensi, ada baiknya jika melihat terlebih dahulu keberatan yang diajukan oleh para pihak yang
bersengketa atas intervensi yang dilakukan. Keberatan yang dilakukan oleh para
pihak yang bersengketa, in casu Indonesia dan Malaysia terhadap aplikasi
intervensi Filipina adalah bahwa Aplikasi Filipina terlambat diajukan[120]
dan dalam aplikasinya Filipina tidak memasukan daftar dokumen pendukung.[121]
Dalam
putusannya MI menyatakan bahwa aplikasi Filipina tidak melanggar ketentuan
pasal 81 paragaf 1, karena dari para pihak sendiri belum memberikan pernyataan
yang tegas tentang akhir dari pembelaan tertulis. MI melihat bahwa dari
perjanjian khusus yang ditandatangani para pihak, masih ada kesempatan untuk
melakukan tahap akhira dari proses pembelaan tertulis. Baru pada tanggal 28
Maret 2001 para pihak yang bersengketa memberikan pernyataan untuk tidak
meneruskan proses pembelaan terulis, sedangkan aplikasi Filipina diajukan pada
tanggal 13 Maret 2001, walaupun akhir dari putaran ketiga pembelaan tertulis
berakhir pada tanggal 2 Maret 2001. MI melihat bahwa pemberitahuan para pihak
akan telah selesainya proses pembelaan tertulis memang harus ditentukan dan
dinyatakan.[122]
Untuk
klaim yang kedua yaitu tidak memasukan daftar dokumen pendukung, MI juga
memutuskan sama, yaitu Filipina tidak melanggar pasal yang terkait, karena
maksud dari pasal 81 paragraf 3 tersebut adalah bahwa hanya jika ada dokumen
pendukung maka daftar dokumen tersebut harus disertakan. Tidak ada kewajiban
bagi Negara yang melakukan intervensi untuk menyertakan dokumen pendukung
aplikasinya.
5.4.1.
Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature
Berkenaan
dengan kepentingan hukum ini, Filipina mengajukan kepentingan hukumnya yaitu
pada perjanjian-perjanjian dan bukti-bukti lain yang berkaitan dengan sengketa
diatas. Lebih jauh lagi, Filipina mengajukan dua klaim untuk kepentingan
hukumnya, yaitu interpretasi kata decision atau keputusan yang termasuk
didalamnya reasoning atau analisa yang melatarbelakangi keputusan
tersebut, dan sifat kepentingan hukum yang dapat mendasari suatu hak intervensi
terjadi.
Untuk
klaim yang pertama menggunakan dasar pasal 62 dengan referensi pasal 59 bahwa
bukan saja hanya keputusan atau decision dari MI, akan tetapi juga
analisa atau reasoning yang dapat membawa dampak pada kepentingan hukum
Filipina. Dalam kaitannya dengan klaim ini, MI setuju dengan klaim Filipina
karena jika mengambil textual interpretation dari redaksional kata decision,
maka harus dilihat dari naskah aslinya yaitu naskah dalam Bahasa Perancis yang
mempunyai arti lebih luas termasuk pada analisa dari keputusan tersebut.
Melihat
dari kesamaan pandangan MI dengan Filipina, nampaknya akan membawa sedikit
masalah untuk kasus-kasus yang nantinya akan diajukan ke MI. Tidak jelas mana
yang lebih kuat sifat persuasive antara keputusan dengan analisa yang
melatarbelakangi keputusan tersebut,
“…but, to interpret a decision as
including “reasoning” might somehow stymie the Court in the performance of its
judicial function in a particular case and place too onerous a burden on States
by requiring them to be extra vigilant for fear of what the Court’s reasoning
might be in particular case”.[123]
Analisa
disini juga diartikan sebagai separate dan dissenting opinion
dari para hakim MI. Selain itu, kemungkinan untuk intervensi akan semakin
terbuka dengan adanya unsure analisa yang dapat dijadikan dasar atas dampak
yang mungkin didapati atas suatu kasus. Akan tetapi, jika melihat dari sisi
pertimbangan hukumnya, memang MI dapat lebih mendapatkan pertimbangan hukum
jika unsur analisa mempunyai kedudukan yang sama dengan keputusan.
Dalam
proses keseluruhan beracara, Filipina tidak dapat membuktikan kepentingan hukum
yang akan terkena dampak, baik dari unsur keputusan maupun unsur analisanya.
Klaim yang
kedua mengenai sifat kepentingan hukum dari intervensi, MI melihat bahwa sifat
kepentingan hukum untuk melakukan intervensi harus mengacu langsung kepada
perihal atau objek sengketa. Hal ini didukung oleh mayoritas klaim dari Negara
yang diperbolehkan melakukan intervensi, kasus Nikaragua dan Equatorial Guinea .
Untuk klaim yang kedua ini, kembali Filipina gagal menunjukan kepentingan hukum
yang mengacu langsung kepada inti sengketa. Unsur convincing demonstration
kembali diambil sebagai dasar oleh MI dalam memutus klaim ini.
5.4.2.
Objek yang jelas dan pasti atau Precise Object of Intervention
Filipina
mengajukan tiga objek berkenaan dengan aplikasi intervensinya, yaitu:
“First, to preserve and safeguard
the historical and legal rights of the Government of the Republic of the
Philippines arising from its claim to dominion and sovereignty over the
territory of North Borneo, to the extent that these rights are affected, by a
determination of the Court of the question of sovereignty over Pulau Sipadan
and Ligitan; Second, to intervene in the proceedings in order to inform the
Honourable Court of the nature and extent of the historical and legal rights of
the Republic of the Philipines which may be affected by the Court’s decision;
and third, to appreciate more fully the indispensable role of the Honourable
Court in comprehensive conflict prevention and not merely for the resolution of
legal disputes.”[124]
Untuk
objek yang pertama dan kedua, MI mengambil formulasi yang sama dari keputusan
terdahulunya tentang intervensi, bahwa melindungi dan memberikan informasi
kepada MI atas hak-hak hukum yang ada, adalah diperbolehkan.[125]
Sedangkan untuk objek yang ketiga, karena dalam proses pembelaan presentasinya
Filipina tidak menjelaskan serta menguatkan objeknya tersebut, maka MI menolak
objek ketiga tersebut.
5.4.3.
Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link
Seperti
yang telah diputuskan pada kasus terdahulunya, tidak diperlukan adanya hubungan
jurisdiksi dalam sebuah aplikasi intervensi dengan catatan bahwa Negara yang
mengajukan intervensi tidak mempunyai maksud untuk ikut beracara di dalam MI.
Pada kasus ini Filipina dengan jelas menyebutkan untuk tidak menjadi pihak yang
bersengketa.[126]
Hubungan Jurisdiksi diperlukan hanya jika pihak yang melakukan intervensi
bermaksud untuk menjadi pihak yang bersengketa dan maksud tersebut disetujui
oleh para pihak yang sedang bersengketa.[127]
[1]List of Cases Brought Before the Court Since 1946, http://www.icj-cij.org/icjwww/idecisions.htm, diakses 10 Juli 2002
[2] Martin Dixon, Textbook on International Law, London : Blackstone Press
Limited, 1990, hal.256
[3] Statuta MI, 1945, Pasal 34 (1), “Only States may be parties in
cases before the Court”.
[4] Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1), “Cases are brought before the
Court, as the case may be, either by the notification of the special agreement
or by a written application…..”
[5] Judge Oda: Nicaragua
v. Honduras ,
Jurisdiction and Admissibility, 1988, ICJ Rep. 69, hal 109
[6] Statuta MI, Pasal 59 “The
decision of the Court has no binding force except between the parties and in
respect of that particular case”
[7] Kasus-kasus
tersebut adalah kasus Hoya de la Torre 1951, Continental Shelf 1981,
Continental Shelf 1982, Land, Island & Maritime Frontier 1990, Land &
Maritime Boundary 1999 dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001.
[8] Statuta MI, 1945, Pasal 62 (1), “Should a State consider that it
has an interest of a legal nature which may be affected by the decision in the
case, it may submit a request to the Court to be permitted to intervene”
[9] Basic Documents, Constitutive Instruments,
http://www.icj-cij.org/icjwww/ibasicdocuments.htm, diakses 13 Juli 2002
[10] PBB singkatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United
Nations (UN)
[11] Rules of the Court (1970), amandemen 2000, Bagian Pembukaan
[12] Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara (Convention
on Rights & Duties of States), 26 Desember 1933, Entry into Force
26 Desember 1934 Pasal 1, “The State as a person of International Law should
possess the following qualifications (a) a permanent population, (b) a defined
territory, (c) government and (d) capacity to enter into relations with the
other states”
[13] Statuta MI, 1945, Pasal 34, “Only States may be parties in cases
before the Court”
[14] Statuta MI, 1945, Pasal 35(2), Contohnya adalah Negara Swiss , General
Assembly Resolution 91 (1) 11
December 1946; Lihat juga Resolusi Majelis
Umum PBB No. 264 (III) tanggal 8 Oktober 1948 tentang Hak Partisipasi Negara
Bukan Anggota PBB Untuk Memilih anggota MI (pasal 4(3) Statuta MI); Lihat juga
Resolusi Majelis Umum PBB No.2520 (XXIV) tanggal 4 Desember 1969 tentang Hak
Partisipasi bukan Negara anggota PBB untuk ikut meng-amandemen prosedur di MI
[15] GA Resolution No.91 tanggal 11 Desember 1946, “Acceptance
of the provisions of the Statute of the International Court of Justice;
Acceptance of all the obligations of a Member of the United Nations under
Article 94 of the Charter; and An undertaking to contribute to the expenses of
the Court such equitable amount as the General Assembly shall assess from time
to time after consultation with the Swiss Government.”
[16] Loc cit, Statuta MI, 1945, pasal 35 (2)
[17] Deklarasi yang dimaksud pernah diajukan
oleh Albania
(1947) dan Itali (1953). Selain itu deklarasi umum juga untuk hal yang sama
juga diajukan oleh Kamboja (1952),
Seylon (1952), Negara Federal Jerman (1955, 1956, 1961, 1965 dan 1971), Finlandia
(1953 dan 1954), Itali (1955), Jepang (1951), Laos (1952) dan Republik Vietnam (1952).
[18] Security Council Resolution (Resolusi Dewan Keamanan) No. 9
tanggal 11 Oktober 1946, bagian 1
[19] Case Concerning the Application of the Convention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Bosnia Herzegovina v. Yugoslavia ) (Serbia and Montenegro )
(Indication of Provisional Measures, 1993, ICJ Rep. 325
[20] Jurisdiksi adalah “The capacity under international law to
prescribe or enforce a rule of law” (American Law Institute) , Restatement
of the Law, Second (1965): Foreign Relations Law of the United States ,
hal. 20; lihat juga definisi lain, ‘La competence internationale de le
pouvoir juridique confere ou reconnu par le droit international a un de connaitre
d une affaire, de prendre une decision, de regler un different” (Dictionnare de
la terminologie du droit international)l (Sirey, 1960); lihat juga Definisi
dari Mann, “The Doctrine of Jurisdiction in International Law”, Recuil des
cours, III (1964), hal. 9
[21] Jika salah satu pihak menolak untuk
menerima jurisdiksi MI, maka MI tidak akan meneruskan proses beracara, seperti
pada kasus : Treatment in Hungary or Aircraft and Crew of United States of
America (United States of America v. Hungary) (United States of America
v. USSR); Aerial Incident of 10 March 1953 (United States of
America v. Czechoslovakia); Antarctica (United Kingdom v. Argentina)
(United Kingdom v. Chile); Aerial Incident of 7 October 1952
(United States of America v. USSR); Aerial Incident of
4 September 1954 (United States of America v. USSR); Aerial
Incident of 7 November 1954 (United States of America v. USSR).
[22] Statuta MI, 1945, Pasal 36 (1)
[23] Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1) “…the subject of the dispute and
the parties shall be indicated”, dan (Rules of the Court) selanjutnya
Aturan Mahkamah, Pasal 39 “…indicate the precise subject of the dispute and
identify the parties to it.”
[24] Jurisdiction, www.icj-cij.org, diakses 18 Agustus 2002
[25] Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 38 (2)
[26] http:// www.icj-cij.org, diakses 25 Oktober 2002
[27] Sebagai contoh dapat dilihat pada Perjanjian Perdamaian,
Indonesia – Jepang, Jakarta ,
20 Januari 1958, Pasal 6
[28] Pasal 36 (1), Statuta MI, 1945
[29] Statuta MI, 1945, Pasal 36 (2-5), “The
States parties to the present Statute may at any time declare that they
recognize as compulsory ipso facto and without special agreement, in relation
to any other State accepting the same obligation, the jurisdiction of the Court
in all legal disputes concerning:(a) the interpretation of a treaty;(b) any
question of international law;(c) the existence of any fact which, if
established, would constitute a breach of an international obligation;(d) the
nature or extent of the reparation to be made for the breach of an
international obligation.
[30] Koto Matsudaira, Deklarasi negara Jepang untuk mengakui secara
compulsory ipso facto jurisdiksi dari MI, 15 September 1958
[31] Statuta MI, 1945,Pasal 36 (6)
[32] Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 79
[33] Kasus Keberatan Awal atau Preliminary
Objection, Corfu Channel (Inggris v. Albania); Rights of Nationals of the
United States of America in Morocco (Perancis v. Amerika Serikat); Ambatielos
(Yunani v. Inggris); Anglo-Iranian Oil Co. (Inggrs v. Iran); Nottebohm
(Liechtenstein v. Guatemala); Monetary Gold Removed from Rome in 1943 (Italia
v. Perancis, Inggris dan Amerika Serikat); Certain Norwegian Loans (Perancis v.
Norwegia); Right of Passage over Indian Territory (Portugal v. India);
Interhandel (Swiss v. Amerika Serikat); Aerial Incident of 27 July 1955
(Israel v. Bulgaria) (Amerika Serikat v. Bulgaria); Barcelona Traction, Light
and Power Company, Limited (Belgia v. Spanyol); Compagnie du Port, des Quais et
des Entrepôts de Beyrouth and Sociéte Radio-Orient (Perancis v. Libanon);
Temple of Preah Vihear (Kamboja v. Thailand); South West Aftica (Ethiopia v.
Afrika Selatan; Liberia v. Afrika Selatan); Northern Cameroons (Kameron v.
Inggris); Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited (New
Application: 1962) (Belgia v. Spanyol); Elettronica Sicula S.p.A. (ELSI)
(Amerika Serikat v. Italia); Aerial Incident of 3 July 1998 (Iran v.
Amerika Serikat); Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v. Australia); Oil
Platforms ( Iran v. Amerika Serikat); Questions of Interpretation and
Application of the 1971 Montreal Convention arising out of the Aerial Incident
at Lockerbie (Libya Arab Jamahiriya v. Inggirs) (Libya Arab Jamahiriya v.
Amerika Serikat); Application of the Convention and the Prevention and
Punishment of the Crime of Genocide (Bosnia and Herzegovina v. Yugoslavia);
Land and Maritime Boundary between Cameroon and Nigeria (Kamerun v. Nigeria).
Questions of jurisdiction or admissibility have also been raised in the
following 13 cases: Appeal Relating to the Jurisdiction of the ICAO Council
(India v. Pakistan); Fisheries Jurisdiction (Inggris v. Islandia; Jerman v.
Islandia); Nuclear Tests (Australia v. Perancis); Trial of Pakistani Prisoners
of War (Pakistan v. India); Aegean Sea Continental Shelf (Yunani v. Turki);
United States Diplomatic and Consular Staff in Tehran (Amerika Serikat v.
Iran); Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua (Nikaragua
v. Amerika Serikat); Border and Transborder Armed Actions (Nikaragua v.
Honduras); Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and
Bahrain (Qatar v Bahrain); East Timor (Portugal v. Australia); Fisheries
Jurisdiction (Spanyol v. Kanada).
[34] Aturan Mahkamah, 1978, pasal
98
[35] Statuta MI, 1945, pasal 61, lihat juga Aturan Mahkamah, 1978,
pasal 99
[36] Aturan Mahkamah, 1978, pasal 39(2), Lihat Panduan Praktek I
[37] Aturan Mahkamah, 1978, pasal 38 (1)
[38] Statuta MI, 1945, Pasal 42 (1) “ the parties shall be
represented by agents”
[39] Pilihan bahasa resmi atau official language yang dipakai
dalam beracara di MI adalah Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis. Keputusan atau judgment
MI akan menggunakan bahasa yang dipilih oleh para pihak, jika para pihak
memilih Bahasa Inggris maka judgment dari MI akan dalam bentuk Bahasa
Inggris dan begitu juga sebaliknya dengan pilihan Bahasa Perancis. Apabila
tidak terdapat suatu kesepakatan dalam penggunaan bahasa resmi yang dipakai,
maka MI, selain memberikan keputusan
dalam kedua bahasa resmi tersebut, juga akan menentukan bahasa yang menjadi
padanan utama penafsiran (authoritative text) dari keputusan yang
dikeluarkan. Dalam pemilihan bahasa resmi ini, para pihak juga dapat meminta MI
untuk menggunakan bahasa lain selain kedua pilihan bahasa resmi diatas. Lihat
Juga Statuta MI, 1945, Pasal 39, Lihat juga bahasa resmi yang digunakan dalam
PBB yaitu Bahasa Cina, Bahasa Perancis, Bahasa Rusia, Bahasa Spanyol dan Bahasa
Inggris, www.un.org, diakses 10 Juli 2002, Lihat Juga Statuta MI, 1945 Pasal 39
(2), Authoritative text sangatlah penting jika berkenaan dengan interpretasi
dari sebuah teks, sesuai dengan Vienna Convention on the Law of Treaties,
objective approach yaitu interpretasi dengan menggunakan arti yang sebenarnya
atau ordinary meaning, pasal 31 (1), Lihat Panduan Praktek IV
[40] Proceedings, www.icj-cij.org, diakses 20 Agustus 2002
[41] Pasal 43, Statuta MI, 1945
[42] Lihat Fisheries Juridiction Case (Inggris v. Islandia) ICJ,
Rep 1973; lihat juga Rights of Passage over Indian Territory Case, ICJ
Rep 1960
[43] Lihat Corfu Channel Case (Inggris v. Albania) Icj Rep 1949;
Lihat juga South West Africa Cases (Ehtiopia v. Afrika Selatan, Liberia
v. Afrika Selatan) ICJ Rep 1966
[45] Aturan Mahkamah, 1978 Pasal 45 dan 46(2), Lihat kasus Continental
Shelf (Tunisi/Libya Arab Jamahiriya) ICJ Rep 1982
[46] Terjemahan historis dari Bahasa Inggris “Submissions” atau “Conclusions” dalam bahasa Perancis
adalah petitum atau hal yang dimintakan untuk diputuskan oleh hakim, “a
concise statement of what precisely the party in question is asking the Court
to adjudge and declare on the basis of the facts it has alleged and the legal
grounds it has adduced, in respect not only of the original claim but also of
any counter-claim. In principle they do not include any recital, however brief,
of the aforesaid facts and arguments”, www.icj-cij.org , diakses 12 Agustus
2002
[47] Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 49
[48] Lihat kasus Rights of Nationals of the United States of America
in Morocco, (Perancis v. Amerika), ICJ Rep 1952
[49] Pasal 46, Statuta MI, 1945
[50] Lihat kasus Rights of Minorities in Upper Silesia dimana
bahasa yang digunakan dalam presentasi pembelaan adalah bahasa Jerman; lihat
juga kasus Barcelona Traction yang menggunakan bahasa Spanyol
[51] http//www.icj-cij.org, diakses 13 Agustus 2002
[52] Lihat kasus Barcelona Traction yang memakan 50 kali
pertemuan atau sitting, South West Africa sebanyak 102 kali
pertemuan dan Land, Island and Maritime Frontier Dispute sebanyak 50
kali pertemuan
[53] Lihat Kasus Nottebohm (Liechstein v. Guatemala ) ICJ
Rep 1955
[54] Lihat kasus Nuclear Tests (Australia v. Perancis,
Selandia Baru v. Perancis), ICJ Rep 1973 , lihat juga kasus United
States Diplomatic and Consular Staff in Tehran (Amerika Serikat v. Iran)
ICJ Rep 1980
[55] Lihat kasus Anglo-Iranian Oil Co
(Inggris v. Iran )
ICJ Rep 1952, lihat juga kasus Military and Paramilitary
Activities in and against Nicaragua
(Nikaragua v. Amerika Serikat) ICJ Rep 1984
[57] Hakim ad hoc adalah hakim yang dipilih oleh para pihak jika para
pihak tidak mempunyai wakil hakim tetap di MI. Lihat Statuta MI, 1946, Pasal 31
[58] Statuta MI, 1945, Pasal 62 dan 63, Aturan Mahkamah, 1978 Pasal
81-86
[59] Lihat kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute,
(Merits) ICJ Rep 1980, Continental
Shelf (Tunisia) (Merits)ICJ Rep 1984
dan Continental Shelf (Malta) (Merits)ICJ Rep 1981, lihat juga
kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan (Filipina) (Merits)
ICJ Rep 2001
[60] Lihat kasus Certain Phosphate Lands
in Nauru
(Nauru
v. Australia ),
ICJ Rep 1992
[61] Lihat kasus Maritime
Delimitation between Guinea-Bissau and Senegal, 77 ILR 636
[62] Lihat kasus Continental Shelf (Tunisia v. Libya ) ICJ Rep.
1982
[63] www.law.com dictionary, diakses 16 Agustus 2002
[64] ibid
[65] Lihat pembahasan Bab II tentang Jurisdiksi MI
[66] Hakim Ad hoc Malaysia Weeramantry, Sovereignty over Pulau
Sipadan & Ligitan, ICJ Rep 2001, par. 17
[67] Hakim Oda, Continental Shelf Case (Tunisia), 1981, Lihat
juga Hakim Jessup, American Journal of International Law, 75, 1981, hal.
904
[68] http//www.icj-cij.org, diakses 16 Agustus 2002
[69] Hakim Jennings, “the slightest acquaintance with the
jurisprudence of this Court shows that Article 59 does by no manner of means
exclude the force of persuasive precedent”, Kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), ICJ Rep. 1984,
hal. 157
[70] Kasus Atlantis v. United States, 379, hal 824 yang dikutip
Hakim Weeremantry dalam kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan,
ICJ Rep. 2001
[71] “The right of intervention given by the Statute may prove to be
a means of inducing governments, be they great or small, to come before the
Court, thus showing their confidence in it and enlarging its opportunities to
perform a service for the world”, John Basset Moore, The Organisation of
the Permanent Court of International Justice (1922), 22 Columbia Law
Review, hal. 497
[72] Shabtai Rosenne, Intervention in the International Court of
Justice, 1993, hal. 190
[73] V.S Mani, International Adjudication: procedural Aspects,
1980, hal.250
[74] Anna Madakou, Intervention Before the International Court of
Justice, 1988, hal. 83
[75] Statuta MI, 1945, Pasal 62 par. 1
[76] ibid, par. 2
[77] “un monster presque indfinissable”, W. Farag, L’intervention
devant la Cour Permanente de Justice Internationale (Article 62 et 63 du Statut
de la Cour), Paris, 1927
[78] Hakim Ad Hoc Weeremantry, Separate Opinion, Sovereigny over
Pulau Sipadan & Ligitan, ICJ Rep. 2001
[79] ibid, paragraph 30
[80] lihat Hakim Oda, Dissenting Opinion, Continental Shelf (Libya Arab
Jamahiriya/Malta), ICJ Rep. 1984, hal 90-91
[81] terjemahan bebas dari “an interest in the Court’s pronouncements
in the case regarding the applicable general and rules of international law”,
Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya), Application for
Permission to Intervene, ICJ rep, 1981 hal. 17
[82] D.W Greig, Third Party Rights and the ICJ, 32 Virginia
Journal of International Law, hal 285-299
[83] Draft Regulations for International Arbitral Procedures,
Institut de droit International, 28 Agustus 1875, pasal 16; Lihat juga Hague
Convention 1899 dan 1907
[84] “Should
a state consider that it has an interest of a legal nature which may be
affected by the decision in the case, it may submit a request to the Court to
be permitted to intervene”,
Statuta Mahkamah, Pasal 62
[85] Kasus
Land , Island
& Maritime Frontier Dispute (Merits) ICJ Rep 1992, hal 609
[86] “The decision of the Court has no
binding force except between the parties and in respect of that particular
case” Statuta MI, 1945, Pasal 59
[87] Hakim Oda, Diessenting Opinion, Kasus Soverignty over
Pulau Sipadan & Ligitan, ICJ Rep. 2001, paragraf 119
[88] Hakim Oda, Dissenting Opinion, Kasus Land, Island &
Maritime Frontier Dispute, ICJ Rep. 1992 hal 620
[89] Hakim Phillip C. Jessup, Editorial Comment, American Journal of
International Law, 75 (1981) AJIL, 903; Lihat Pendapat Hakim Oda dan
Schwebel yang berpendapat tidak diperlukannya hubungan jurisdiksi dalam kasus Continental
Shelf, ICJ Rep. 1981, hal 22 dan
Hakim Morozov yang berpendapat sebaliknya dalam kasus yang sama; Lihat juga
Hakim Ad hoc Weeramantry yang berpendapat tidak diperlukannya hubungan
jurisdiksi dalam melakukan intervensi dalam kasus Soverignty over Pulau
Sipadan & Ligitan, ICJ Rep. 2001, paragraf 29; Lihat juga kasus Land
& Maritime Boundary between Cameroon and Nigeria (Equatorial
Guinea’s Intervention), ICJ Rep 1999 dimana keputusannya tidak diperlukan
hubungan jurisdiksi dalam melakukan intervensi
[90] Kasus S.S. Wimbledon , PCIJ, Seri C No.3 dan Seri A/B, No.5
[91] Statuta MI, Pasal 63, Paragraf 1
[92] Ibid, Paragraf 2
[93] Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 81, paragraf 2 & 3
[94] ibid, Pasal 81, paragraf 1
[95] ibid, Pasal 82, paragraf 1
[96] ibid, Pasal 82, paragraf 2 & 3
[97] ibid, Pasal 83 & 84
[98] ibid, Pasal 85
[99] ibid, Pasal 86
[100] Secara Umum sub bab ini dipetik dari kasus Continental Shelf
(Tunisia/Libya Arab Jamahiriya) Malta
Intervention, Merits, ICJ Rep. 1981
[101] Kasus Continental Shelf , Tunisia/Libya Arab Jamahiriya,
Merit, ICJ Rep 1981, paragraf 28-35
[102] Aturan Mahkamah, 1978 Pasal 84, paragraf 1
[103] Kasus Continental Shelf ,
Tunisia /Libya Arab
Jamahiriya, Merit, ICJ Rep. 1981
[104] Lihat Hakim Morozov, Declarations, Kasus Continental Shelf , Tunisia /Libya Arab
Jamahiriya, ICJ Rep. 1981
[105] Lihat Hakim Oda, Separate Opinion, Kasus Continental
Shelf, Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, ICJ Rep. 1981.
[106] Secara umum, sub bab ini dipetik dari kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), Italia
Intervention, Merits, ICJ Rep. 1984
[107] Lihat Kasus Continental Shelf, Libya Arab Jamahiriya/Malta, ICJ
Rep. 1984
[108] Statuta MI, Pasal 40
[109] Kasus Continental Shelf, Libya Arab Jamahiriya/Malta, Merit,
ICJ Rep. 1984 paragraf 30
[110] Secara Umum, sub bab ini dipetik dari kasus Land ,
Island & Maritime Frontier Dispute ,
Nicaragua
Intervention, Merits, ICJ Rep. 1990
[111] Kesamaan past decisions berkenaan dengan hubungan jurisdiksi, lihat
kasus Continental Shelf Intervensi Malta, Continental Shelf
Intervensi Italia dan Maritime Boundary Intervensi Nikaragua
[112] Kasus
Land Island
Maritime Frontier Dispute (Merits) Intervensi Nikaragua, ICJ Rep. 1990,
paragraf 61 – 63
[113] ibid, paragraf 85-92
[114] “The Application…. shall set out [c] any basis of jurisdiction
which is claimed to exist as between the state applying to intervene and the
parties to the case”, Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 81 [c]
[115] Secara umum, sub bab ini dipetik dari kasus Land & Maritime
Boundary, Equatorial Guinea Intervention, Merit, ICJ Rep. 1999
[116] Kasus
Land , Island and Maritime Boundary (Merits) ICJ Rep 1998,
hal 324
[117] ibid, paragraf 9
[118] ibid, paragraf 10
[119] Secara Umum, sub bab ini dipetik dari kasus Sovereignty over
Pulau Sipadan & Ligitan, Phillipine Intervention, Merit, ICJ Rep. 2001
[120] “An Application for permission to intervene under article 62 of
the Statute, ……, shall be filled as soon as possible, and not later than the
closure of the written proceedings. In exceptional circumstances, an
application submitted at a later stage may however be admitted” ,Aturan
Mahkamah, 1978, Pasal 81 paragraf 1
[121] “The application shall contain a list of documents in support,
which documents shall be attached”, Aturan Mahkamah 1978, Pasal 81 paragraf
3
[122] “the date of the closure of the written proceedings, within the
meaning of Article 81 paragraph 1 of the rules of the court, would remain still
to be finally determined”, ICJ Rep., 1990, hal. 98, paragraf 12
[123] Lihat Separate Opinion, Hakim Koroma, Kasus Sovereignty
over Pulau Sipadan & Ligitan, ICJ Rep. 2001
[124] Aplikasi Intervensi Filipina dalam kasus Sovereignty over Pulau
Sipadan and Ligitan, ICJ rep. 2001
[125] lihat kasus Continental Shelf, Judgment ICJ Rep. 1984, hal
11-12; Kasus Land Island and Maritime Frontier Boundary, Judgment, ICJ
Rep. hal 108-109; dan Kasus Land Maritime Boundary, ICJ Rep., 1999, hal
1032
[126] Kasus Land Island Frontier Maritime, ICJ Rep 1990, hal 135;
Kasus Land and Maritime Boundary, ICJ Rep. 2001, hal 1034-1035
[127] Kasus Land Island Frontier Maritime, ICJ Rep 1990, hal 135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar