Daftar Blog Bacaan

Rabu, 26 Oktober 2016

PENGHAPUSAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

  1. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana.
Dalam Momorie van toelichting alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana kepada pelaku dibedakan menjadi dua. Pertama alasan yang berada dalam diri pelaku sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP perihal kemampuan bertanggung jawab yang dirumuskan secara negatif.[1] Kedua alasan yang berada di luar pelaku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 sampai Pasal 51 KUHP. [2]
Selain pembagian kedua alasan penghapusan pidana di atas, alasan penghapusan pidana juga dibagi menjadi dua[3]. Pertama, alasan pembenar yaitu  alasan menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan tererdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Kedua alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, berkaitan dengan pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaarheid) yang dikenal dengan istilah mensrea di Negara Anglo saxon[4]. Selanjutnya alasan  penghapus pidana yang umum dan alasan penghapusan pidana khusus, alasan pengahupsan pidana umum merupakan alasan penghapusan pidana yang terdapat dalam KUHP maupun diluar KUHP, sedangkan penghapusan pidana secara khusus merupakan penghapusan pidana yang hanya berlaku untuk delik-delik tertentu.[5]
Alasan penghapusan pidana umum dalam KUHP adalah: a) Tidak mampu bertanggung jawab, b) Daya paksa, c), Pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa melampau batas, d) Melaksanakan peratutan undang-undang dan perintah jabatan. Sedangkan alasan penghapusan pidana umum diluar KUHP adalah: a) Izin, b) Tidak ada kesalahan sama sekali, c) Tidak ada sifat melawan hukum materil.[6]
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu persatu alasan penghapusan pidana umum yang diatur didalam KUHP sebagai berikut:
a.    Tidak Mampu Bertanggungjawab.(Alasan pemaaf)
Van Hammel memberikan ukuran mengenai kemampuan bertanggung jawab yang meliputi tiga hal. Pertama, mampu memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatannya. kedua mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat. ketiga mampu untuk menentukan kehendak untuk berbuat.[7]
Sebagaimana bunyi KUHP dalam Pasal 44  ayat
(1)     Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karna penyakit, tidak di pidana.
(2)     Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karna jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karna penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3)     Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi mahkamah agung, pengadilan tinggi dan pengadilan negeri.
Dari penjelasan Pasal 44 ayat (1) dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan bertanggung jawab bukan hanya karna keadaan jiwa yang cacat atau terganggu, tetapi  terganggunya  keadaan seseorang karna penyakit juga merupakan dasar dari penghapusan pertanggungjawaban pidana.
Sebagai contoh, kecelakaan mobil yang mengakibatkan meninggalnya seseorang, tetapi kecelakaan tersebut disebabkan karna gangguan psikis atau gangguan kesadaran karna sebab fisik, misalnya serangan diabetes yang mendadak.
b.    Daya Paksa.(Pemaaf)
“Barang siapa melakukan perbuatan karna pengaruh daya paksa, tidak di pidana”. demikianlah bunya dari Pasal 48 KUHP. Sementara penjelassn apa yang di maksud dengan daya paksa itu sendiri tidak dijelaskan di  dalam KUHP. Daya paksa merupakan terjemahan dari overmacht, walaupun menurut Eddy O.S. Hiariej belum ada kesatuan pendapat para pakar apakah daya paksa ini merupakan alasan pembenar atau alasan pemaaf? tetapi penulis lebih merujuk ke alasan pemaaf, sebagaimana pendapat D. Schafmeiser dalam daya paksa tidak dilindungi kepentingan yang lebih tinggi nilainya tetapi dilakukan suatu delik yang tidak harus dilakukan, jadi tidak ada alasan pembenaran. tetapi dilakukannya delik menurut penalaran hukum pidana tidak dapat dilakukan kepadanya.[8]
Dalam Memorie van Toeliching, Utrecht menyatakan sebab paksa atau daya paksa “enn kracht, een drang, enn dwang waaraan men geen weerstand kan bieden” (Suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat di lawan).[9] Daya paksa yang dimaksud disni berati tekanan fisik atau tekanan psikis, paksaan itu dapat dilakukan oleh orang ketiga dengan kekerasaan atau ancaman atau cara-cara yang lain atau paksaan itu terletak dalam kodrat alam atau hal-hal di sekitar kita.
Secara doktrinal, kekuatan fisik yang tidak dapat dihindari disebut vis obsoluta, sedang kekuatan psikis vis compulsiva. vis obsoluta  tidak masuk pengertian overmacht sebagaimana di ataur dalam Pasal 48 KUHP, Over macht merujuk kepada penegertian paksaan secara psikis (vis compulsiva) bukan secara fisik [10]
Sebagaimana pendapat Moeljatno dan lamintang yang dikutp oleh A. Faud Usfa dan Tongat. Beliau juga berpendapat bahwa dalam paksaan fisik orang yang berbuat (pelaku) bukan orang yang terkena paksaan (korban), tetapi orang yang berbuat paksaan fisik tersebut. Lebih lanjut Van Bemmelen menjelaskan bahwa orang yang di paksa itu hanya merupakan alat, tanpa ada kemauan sendiri,[11]
c.    Pembelaan Terpaksa.(Pembenar)
Pembelaan terpaksa diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untik pembelaan, karna adanya serangan atau ancaman serangan seketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri amaupun orang lain, tidak di pidana”.

Menurut Moeljatno yang dikmaksud pembelaan terpaksa disini adalah pembelaan yang dilakukan harus bersifat terpaksa, artinya tidak ada jalan lain bagi terdakwa untuk menghalau/menghindari aancaman atau serangan itu.[12] Oleh karna itu yang dimaksud pembelaan terpaksa sebagaimana yang di muat dalam pasal 49 ayat(1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.    harus ada serangan seketika atau ancaman serangan(melawan hukum). Pengertian serangan dalam pasal a quo adalah seranagan nyata berlanjut, baik terhadap badan, martabat kesusilaan dan harta benda, sedangkan pengertian seketika yaitu antara saat melihat adanya seragan dan saat adanya pembelaan harus tidak ada selang waktu yang lama.[13]
2.    tidak ada jalan untuk menghindari serangan atau ancaman serangan dalam pengertian pengertian secra wajar.
3.    perbuatan pembelaan terpaksa tersebut harus seimbang dengan sifat serangan atau ancaman serangan, hal ini berkenaan dengan prinsip proporsinalitas, artinya aharus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang dilanggar.
d.   Pembelaan terpaksa melampaui batas.(pembenar)
Pembelaan terpaksa melampaui batas dapat terjadi dalam dua bentuk[14]. Pertama, orang yang menghadapi sebuah serangan  mengalami goncangan batin yang sedemikian hebat sehingga mengubah pembelaan diri menjadi sebuah serangan. Kedua orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat dengan serta merta menggunakan upaya bela diri yang berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan upaya dratis untuk membela diri.
Pembelaan terpaksa sebagaimana yang di atur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang berbunyi:“Pembelaan terpaksa yang melampai batas, yang langsung di sebabkan oleh guncangan jiwa yang hebat karna serangan atau ancaman serangan itu, tidak di pidana.”
Dalam pembelaan terpaksa melampaui batas mengandung dua syarat yang harus dipenuhi agar dapat dinyatakan seseorang melakukan pembelaan terpaksa. Pertama, harus ada situasi yang menimbulkan pembelaan terpaksa seperti yang dibahas pada pembaahasan sebelumnya. Kedua, harus ada goncangan jiwa yang hebat akibat serangan tersebut sehingga menimbulkan pembelaan terpaksa melampaui batas.[15] Goncangan jiwa yang hebat yang dimaskud tidak hanya rasa cemas, takut, atau ketidakberdayaan tetapi termasuk juga kemarahan, kemungkarang atau ketersinggungan.
e.    Melaksanakan Perintah Undang-undang.
Pasal 50 KUHP mengatur “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak di pidana. Ketentuan ini merupakan pertentangan antara dua kewajiban.
Dalam melaksanakan perintah undang-undang, prinsip yang di pakai adalah subsidaritas dan proporsionalitas. Prinsip subsidaritas dalam kaitannya dengan perbuatan pelaku adalah untuk melaksanakan peraturan undang-undang dan kewajiban pelaku berbuat demikian. Sedangkan prinsip proporsionalitas yaitu pelaku hanya dibenarkan jika dalam pertentangan dua kewajiban hukum  maka yang lebih besarlah yang di utamakan. hal yang lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perintah undang-undang adalah karakter dari pelaku, apakah para pelaku tersebut selaku melaksanakan tugas-tugas dengan itikad yang baik atau sebaliknya.[16]
f.     Melaksanakan Perintah Jabatan(Pemaaf)
Pengahupsan pidana dengan alasan melaksanakan perintah jabatan diatur  dalam Pasal 51 ayat (1) “ Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak di pidana”. Perintah jabatan yang dikeluarkan oleh yang berwenang memeberikan hak kepada yang menerima perintah untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dengan demikian hak ini menghapuskan elemen sifat melawan hukumnya perbuatan sehingga dimasukkan dalam alasan pemaaf.
Sedangkan alasan penghapusan pidana yang tidak diatur dalam KUHP sebagai berikut:
a.    Izin.
Izin merupakan salah satu alasan penghapus pidana, jika perbuatan dilakukan mendapat persetujuan dari orang yang dirugikan dari perbuatan tersebut.
Adanya izin atau persetujuan sebagai alasan pembenar didasarkan paling tidak ada empat syarat[17]. Pertama, pemberi izin tidak memberi izin karna adanya suatu tipu muslihat. Kedua, pemberi izin tidak berada dalam suatu kekhilafan. Tiga, pemberi izin ketika memberi persetujuan tidak berada dalam suatu tekanan. Empat, substansi masalahan yang berikan izin tidak bertentangan dengan kesusilaan.
b.    Tidak Ada Kesalahan Sama Sekali.
Tidak ada kesalahan sama sekali atau afwezigheid van alle schuld (Avas) merupakan alasan penghapusan pidana yang mana pelaku telah cukup berusaha untuk tidak melakukan delik. avas ini juga biasa disebut sesat yang dapat dimaafkan.[18] Alasan tersebut dikategorikan sebagai alasan pemaaf karna perbuatanya yang dapat dimaafkan.
c.    Tidak Ada Sifat Melawan Hukum Materil.
Menurut ajaran ini perbuatan dapat dipandang bersifat melawan hukum atau tidak, ukurannya bukan hanya didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis saja, tetapi juga harus ditinjau menurut asas umum dari hukum yang tidak tertulis. Dengan demikian menurut ajaran ini, bersifat melawan hukum bukan hanya bertentangan dengan hukum tertulis saja, tetapi juga harus dilihat apakah perbuatan tersebut juga bertentangan dengan pandangan hukum masyarakat (nilai-nilai dalam masyarakat)[19]
d.   Hak Jabatan.
Beroepsrecht atau biasa di sebut sebagai hak jabatan biasanya berkaitan dengan profesi dokter, apoteker, perawat dan peneliti ilmiah di bidang kesehatan.[20] Sebagaimana di atur dalam Pasal 302 KUHP yaitu melakukan penyiksaan hewan merupakan perbuatan pidana. Akan tetapi, perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karna timbul sebagai hak jabatan dimana seorang dokter malakukan penelitian ilmiah dengan menggunakan binatang sebagai sampel percobaan. Dalam perkembangannya hak jabatan juga dikenal dalam menjalankan profesi seperti advokat dan jurnaslis.
e.    Mewakili Urusan Orang Lain.
Mewakili urusan orang lain adalah perbuatan yang secara sukarela tanpa hak mendapatkan upah mengurusi kepentingan ornag lain tanpa perintah dari orang yang diwakilinya, apabila terjadi perbuatan pidana dalam menjalankan urusan tersebut maka sifat melawan hukum perbuatan tersebut dihapuskan.[21] Misalnya seorang pemadam kebakaran memasuki rumah dengan merusak pintu untuk mencegah timbulnya bahaya yang lebih besar.





[1] I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana, Buku Panduan Mahasiswa, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT. Fikahati Aneska(Anggota IKAPI) 2010, Hlm. 59
[2] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 209-210
[3] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 89
[4]Rudini, Dasar alasan penghapusan pidana di indonesia, di akses melalui https://rudini76ban.wordpress.com/2009/11/02/alasan-penghapus-pidana-menurut-kuhp-indoneisa-dan-kuhp-inggris-suatu-perbandingan-hukum/ Tanggal 20 Agustus 2015.
[5] Eddy O.S. Hiariej.  Log, Cit.,
[6] D. Schaffmeister. et. al,. Op, Cit., hal.55
[7] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 214
[8] D. Schaffmeister, et. al., Op, Cit., hlm 64
[9] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 218.
[10] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 91.
[11] J.M. Van Bammelen. Hukum Pidana 1, Hukum pidana Materil Bagian Umum. (Diterjemahkan oleh Hasan) Cetakan Pertama. Binacpta, 1984, hlm 180.
[12] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 94
[13] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 226.
[14] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 229
[15] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 230
[16] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 232
[17] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 236.
[18] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 237.
[19] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 70.
[20] Jan Ramlink, Op. Cit., hlm 269
[21] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 239

Tidak ada komentar:

Posting Komentar