- Hapusnya
Pertanggungjawaban Pidana.
Dalam Momorie van
toelichting alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana kepada pelaku
dibedakan menjadi dua. Pertama alasan yang berada dalam diri pelaku sebagaimana
diatur dalam Pasal 44 KUHP perihal kemampuan bertanggung jawab yang dirumuskan
secara negatif.[1]
Kedua alasan yang berada di luar pelaku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48
sampai Pasal 51 KUHP. [2]
Selain pembagian
kedua alasan penghapusan pidana di atas, alasan penghapusan pidana juga dibagi
menjadi dua[3].
Pertama, alasan pembenar yaitu alasan
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan
tererdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Kedua alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa,
berkaitan dengan pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaarheid)
yang dikenal dengan istilah mensrea di Negara Anglo saxon[4].
Selanjutnya alasan penghapus pidana yang umum dan alasan
penghapusan pidana khusus, alasan pengahupsan pidana umum merupakan alasan
penghapusan pidana yang terdapat dalam KUHP maupun diluar KUHP, sedangkan
penghapusan pidana secara khusus merupakan penghapusan pidana yang hanya
berlaku untuk delik-delik tertentu.[5]
Alasan penghapusan
pidana umum dalam KUHP adalah: a) Tidak mampu bertanggung jawab, b) Daya paksa,
c), Pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa melampau batas, d) Melaksanakan
peratutan undang-undang dan perintah jabatan. Sedangkan alasan penghapusan
pidana umum diluar KUHP adalah: a) Izin, b) Tidak ada kesalahan sama sekali, c)
Tidak ada sifat melawan hukum materil.[6]
Untuk lebih
jelasnya akan diuraikan satu persatu alasan penghapusan pidana umum yang diatur
didalam KUHP sebagai berikut:
a.
Tidak
Mampu Bertanggungjawab.(Alasan pemaaf)
Van Hammel
memberikan ukuran mengenai kemampuan bertanggung jawab yang meliputi tiga hal.
Pertama, mampu memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatannya. kedua
mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban
masyarakat. ketiga mampu untuk menentukan kehendak untuk berbuat.[7]
Sebagaimana bunyi
KUHP dalam Pasal 44 ayat
(1)
Barang
siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya
karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karna penyakit, tidak di
pidana.
(2)
Jika
ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan
karna jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karna penyakit, maka hakim
dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa
paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3)
Ketentuan
tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi mahkamah agung, pengadilan tinggi
dan pengadilan negeri.
Dari penjelasan
Pasal 44 ayat (1) dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan bertanggung jawab
bukan hanya karna keadaan jiwa yang cacat atau terganggu, tetapi terganggunya
keadaan seseorang karna penyakit juga merupakan dasar dari penghapusan
pertanggungjawaban pidana.
Sebagai contoh, kecelakaan mobil yang mengakibatkan
meninggalnya seseorang, tetapi kecelakaan tersebut disebabkan karna gangguan
psikis atau gangguan kesadaran karna sebab fisik, misalnya serangan diabetes
yang mendadak.
b.
Daya
Paksa.(Pemaaf)
“Barang siapa melakukan perbuatan karna pengaruh daya
paksa, tidak di pidana”.
demikianlah bunya dari Pasal 48 KUHP. Sementara penjelassn apa yang di maksud
dengan daya paksa itu sendiri tidak dijelaskan di dalam KUHP. Daya paksa merupakan terjemahan
dari overmacht, walaupun menurut Eddy
O.S. Hiariej belum ada kesatuan pendapat para pakar apakah daya paksa ini
merupakan alasan pembenar atau alasan pemaaf? tetapi penulis lebih merujuk ke
alasan pemaaf, sebagaimana pendapat D. Schafmeiser dalam daya paksa tidak
dilindungi kepentingan yang lebih tinggi nilainya tetapi dilakukan suatu delik
yang tidak
harus dilakukan, jadi tidak ada alasan pembenaran. tetapi
dilakukannya delik menurut penalaran hukum pidana tidak dapat dilakukan
kepadanya.[8]
Dalam Memorie van
Toeliching, Utrecht menyatakan sebab paksa atau daya paksa “enn kracht, een drang, enn dwang waaraan men
geen weerstand kan bieden” (Suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan
yang tidak dapat di lawan).[9]
Daya paksa yang dimaksud disni berati tekanan fisik atau tekanan psikis,
paksaan itu dapat dilakukan oleh orang ketiga dengan kekerasaan atau ancaman
atau cara-cara yang lain atau paksaan itu terletak dalam kodrat alam atau
hal-hal di sekitar kita.
Secara doktrinal,
kekuatan fisik yang tidak dapat dihindari disebut vis obsoluta, sedang kekuatan psikis vis compulsiva. vis obsoluta
tidak masuk pengertian overmacht sebagaimana di ataur dalam Pasal 48
KUHP, Over macht merujuk kepada penegertian paksaan secara psikis (vis compulsiva) bukan secara fisik [10]
Sebagaimana
pendapat Moeljatno dan lamintang yang dikutp oleh A. Faud Usfa dan Tongat.
Beliau juga berpendapat bahwa dalam paksaan fisik orang yang berbuat (pelaku)
bukan orang yang terkena paksaan (korban), tetapi orang yang berbuat paksaan
fisik tersebut. Lebih lanjut Van Bemmelen menjelaskan bahwa orang yang di paksa
itu hanya merupakan alat, tanpa ada kemauan sendiri,[11]
c.
Pembelaan
Terpaksa.(Pembenar)
Pembelaan terpaksa
diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa terpaksa
melakukan perbuatan untik pembelaan, karna adanya serangan atau ancaman
serangan seketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain,
terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri amaupun orang lain,
tidak di pidana”.
Menurut Moeljatno
yang dikmaksud pembelaan terpaksa disini adalah pembelaan yang dilakukan harus
bersifat terpaksa, artinya tidak ada jalan lain bagi terdakwa untuk
menghalau/menghindari aancaman atau serangan itu.[12]
Oleh karna itu yang dimaksud pembelaan terpaksa sebagaimana yang di muat dalam
pasal 49 ayat(1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.
harus
ada serangan seketika atau ancaman serangan(melawan hukum). Pengertian serangan
dalam pasal a quo adalah seranagan nyata berlanjut, baik terhadap badan,
martabat kesusilaan dan harta benda, sedangkan pengertian seketika yaitu antara
saat melihat adanya seragan dan saat adanya pembelaan harus tidak ada selang
waktu yang lama.[13]
2.
tidak
ada jalan untuk menghindari serangan atau ancaman serangan dalam pengertian
pengertian secra wajar.
3.
perbuatan
pembelaan terpaksa tersebut harus seimbang dengan sifat serangan atau ancaman
serangan, hal ini berkenaan dengan prinsip proporsinalitas, artinya aharus ada
keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang
dilanggar.
d.
Pembelaan
terpaksa melampaui batas.(pembenar)
Pembelaan terpaksa
melampaui batas dapat terjadi dalam dua bentuk[14].
Pertama, orang yang menghadapi sebuah serangan
mengalami goncangan batin yang sedemikian hebat sehingga mengubah
pembelaan diri menjadi sebuah serangan. Kedua orang yang melakukan pembelaan
terpaksa mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat dengan serta merta
menggunakan upaya bela diri yang berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan
upaya dratis untuk membela diri.
Pembelaan terpaksa sebagaimana yang di atur dalam Pasal
49 ayat (2) KUHP yang berbunyi:“Pembelaan
terpaksa yang melampai batas, yang langsung di sebabkan oleh guncangan jiwa
yang hebat karna serangan atau ancaman serangan itu, tidak di pidana.”
Dalam pembelaan terpaksa melampaui batas mengandung dua
syarat yang harus dipenuhi agar dapat dinyatakan seseorang melakukan pembelaan
terpaksa. Pertama, harus ada situasi yang menimbulkan pembelaan terpaksa
seperti yang dibahas pada pembaahasan sebelumnya. Kedua, harus ada goncangan
jiwa yang hebat akibat serangan tersebut sehingga menimbulkan pembelaan terpaksa
melampaui batas.[15]
Goncangan jiwa yang hebat yang dimaskud tidak hanya rasa cemas, takut, atau
ketidakberdayaan tetapi termasuk juga kemarahan, kemungkarang atau
ketersinggungan.
e.
Melaksanakan
Perintah Undang-undang.
Pasal 50 KUHP
mengatur “Barang siapa melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak di pidana.
Ketentuan ini merupakan pertentangan antara dua kewajiban.
Dalam melaksanakan perintah undang-undang, prinsip yang
di pakai adalah subsidaritas dan proporsionalitas. Prinsip subsidaritas dalam
kaitannya dengan perbuatan pelaku adalah untuk melaksanakan peraturan
undang-undang dan kewajiban pelaku berbuat demikian. Sedangkan prinsip
proporsionalitas yaitu pelaku hanya dibenarkan jika dalam pertentangan dua
kewajiban hukum maka yang lebih besarlah
yang di utamakan. hal yang lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan
perintah undang-undang adalah karakter dari pelaku, apakah para pelaku tersebut
selaku melaksanakan tugas-tugas dengan itikad yang baik atau sebaliknya.[16]
f.
Melaksanakan
Perintah Jabatan(Pemaaf)
Pengahupsan pidana
dengan alasan melaksanakan perintah jabatan diatur dalam Pasal 51 ayat (1) “ Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan
yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak di pidana”. Perintah
jabatan yang dikeluarkan oleh yang berwenang memeberikan hak kepada yang
menerima perintah untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dengan demikian hak
ini menghapuskan elemen sifat melawan hukumnya perbuatan sehingga dimasukkan
dalam alasan pemaaf.
Sedangkan alasan penghapusan pidana yang tidak diatur
dalam KUHP sebagai berikut:
a.
Izin.
Izin merupakan
salah satu alasan penghapus pidana, jika perbuatan dilakukan mendapat
persetujuan dari orang yang dirugikan dari perbuatan tersebut.
Adanya izin atau persetujuan sebagai alasan pembenar
didasarkan paling tidak ada empat syarat[17].
Pertama, pemberi izin tidak memberi izin karna adanya suatu tipu muslihat.
Kedua, pemberi izin tidak berada dalam suatu kekhilafan. Tiga, pemberi izin
ketika memberi persetujuan tidak berada dalam suatu tekanan. Empat, substansi
masalahan yang berikan izin tidak bertentangan dengan kesusilaan.
b.
Tidak
Ada Kesalahan Sama Sekali.
Tidak ada kesalahan sama sekali atau afwezigheid van alle schuld (Avas) merupakan alasan penghapusan pidana
yang mana pelaku telah cukup berusaha untuk tidak melakukan delik. avas ini
juga biasa disebut sesat yang dapat dimaafkan.[18]
Alasan tersebut dikategorikan sebagai alasan pemaaf karna perbuatanya yang
dapat dimaafkan.
c.
Tidak
Ada Sifat Melawan Hukum Materil.
Menurut ajaran ini perbuatan dapat dipandang bersifat melawan hukum atau tidak, ukurannya
bukan hanya didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis saja,
tetapi juga harus ditinjau menurut asas umum dari hukum yang tidak tertulis. Dengan demikian
menurut ajaran ini, bersifat melawan hukum bukan hanya bertentangan dengan
hukum tertulis saja, tetapi juga harus dilihat apakah perbuatan tersebut juga
bertentangan dengan pandangan hukum masyarakat
(nilai-nilai dalam masyarakat)[19]
d.
Hak
Jabatan.
Beroepsrecht atau biasa di sebut sebagai hak jabatan biasanya
berkaitan dengan profesi dokter, apoteker, perawat dan peneliti ilmiah di
bidang kesehatan.[20]
Sebagaimana di atur dalam Pasal 302 KUHP yaitu melakukan penyiksaan hewan
merupakan perbuatan pidana. Akan tetapi, perbuatan tersebut tidak dapat
dipidana karna timbul sebagai hak jabatan dimana seorang dokter malakukan
penelitian ilmiah dengan menggunakan binatang sebagai sampel percobaan. Dalam
perkembangannya hak jabatan juga dikenal dalam menjalankan profesi seperti
advokat dan jurnaslis.
e.
Mewakili
Urusan Orang Lain.
Mewakili urusan orang lain adalah perbuatan yang secara
sukarela tanpa hak mendapatkan upah mengurusi kepentingan ornag lain tanpa
perintah dari orang yang diwakilinya, apabila terjadi perbuatan pidana dalam
menjalankan urusan tersebut maka sifat melawan hukum perbuatan tersebut
dihapuskan.[21]
Misalnya seorang pemadam kebakaran memasuki rumah dengan merusak pintu untuk
mencegah timbulnya bahaya yang lebih besar.
[1] I Made Widnyana,
Asas-Asas Hukum Pidana, Buku Panduan Mahasiswa, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT.
Fikahati Aneska(Anggota IKAPI) 2010, Hlm. 59
[2] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 209-210
[3] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 89
[4]Rudini, Dasar alasan
penghapusan pidana di indonesia, di akses melalui https://rudini76ban.wordpress.com/2009/11/02/alasan-penghapus-pidana-menurut-kuhp-indoneisa-dan-kuhp-inggris-suatu-perbandingan-hukum/ Tanggal 20 Agustus 2015.
[5] Eddy O.S. Hiariej. Log,
Cit.,
[6] D. Schaffmeister. et.
al,. Op, Cit., hal.55
[8] D. Schaffmeister, et.
al., Op, Cit., hlm 64
[9] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 218.
[10] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 91.
[11] J.M. Van Bammelen. Hukum Pidana 1, Hukum pidana Materil Bagian
Umum. (Diterjemahkan oleh Hasan) Cetakan Pertama. Binacpta, 1984, hlm 180.
[12] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 94
[14] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 229
[16] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 232
[17] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 236.
[18] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 237.
[19] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 70.
[21] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 239
Tidak ada komentar:
Posting Komentar