Daftar Blog Bacaan

Selasa, 11 Oktober 2016

PENGERTIAN CYBERCRIME

    A.    Pengertian kejahatan mayantara (cybercrime).
Pada perkembangannya internet ternyata membawa sisi negatif, dengan membuka peluang munculnya tindakan anti sosial yang selama ini di anggap tidak mungkin terjadi atau tidak terpikirkan akan terjadi. Sebuah teori menyatakan Crime is product of society its self, yang secara sederhana dapat di artikan masyarakat itu sendirilah yang menghasilkan kejahatan.
Dalam laporan kongres PBB ke-X/ 19 juli 2000 di wina dinyatakan sebagai berikut “ cyber crime atau computer-relatetd crime mencakup seluruh keseluruhan bentuk-bentuk baru dari kejahatan yang di tujukan pada komputer, jaringan komputer dan para penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan terdisional yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer.[1]
Secara terminologis kejahatan yang berbasis pada teknologi dan informasi dengan menggunakan media komputer sebagaimana terjadi pada saat ini, berbagai macam istilah yang digunkan oleh parah ahli, misalnya seperti computer misuse, computer abuse, compuetr fraud, computer related crime, computer assisted crime, atau komputer crime,[2] menurut Barda Nawawi Arief, pengertian computer-related crime sama dengan cybercrime[3]. Namu dalam konvensiInternasional Tahun 2001 menggunkan istilah Cybercrime.[4]
Dalam buku Strategi penanggulangan kejahatan telematika yang ditulis oleh Al. Wisnubroto, istilah yang digunakan untuk kejahatan yang di lakukan di dunia maya atau kejatan yang dilakukan melalui bantuan elektronik berbeda dengan apa yang digunakan oleh pakar yang lain, beliau lebih suka menggunkan istilah Kajahatan Telekomunikasi. Hal bukan tidak ada alasan yang di kemukan beliau dalam buku tersebut.
Dalam penjelasannya kejahatan telematika merupakan penyalagunaan teknologi yang terkonvergensi dari komputer, media dan informatika, dengan didasari motif kriminal atau secara tercela, secara ilegal atau melawan hukum atau dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pengertian kejahatan telematika tersebut mencakup pula lingkup pengertian kejahatan komputer, atau kejahatan siber baik dalam pengertian sempit maupun dalam pengertian luas.[5]
Menurut kepolisian inggris, cybercrime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan/atau kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan tehnologi digital (Ade Maman Suherman, 2002:168)[6]
Berdasarkan penjelasan tersebut, yang menjadi cacatan di sini yaitu tidak di jelaskannya apa yang di maksud dengan jaringan komputer, apabila di maknai secara luas maka akan meliputi LAN (lokal area network) dan internet. Dan LAN mempunyai karakter yang berbeda dengan internet.
Dalam beberapa literatur, cybercrime sering diidentikkan dengan computer crime. The US Depertement Of Justice memberikan penegertian sebagai “any Illegel act requiring knowledge of computer for its perpretation, investigation, or presecution” artinya “setiap perbuatan yang melanggar hukum yang memerlukan pengetahuan tentang komputer untuk menangani, menyelidiki dan menuntutnya.[7]
Sementara pengertian lain yang diberikan oleh Organization of European Community Development yaitu: “any illegal unthical or unauthorized behaviourbrelating to the autometic processing and/or tranmission of data” artinya setiap perilaku ilegal, tidak pantas, tidak mempunyai kewenangan yaang berhubungan dengan pengolahan data dan/atau pengiriman data.[8]
Indra Safitri mengemukakan, kejahatan dunia maya adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi tanpa batas dan memiliki karakteristik  yang kuat dan sebuah rekayasa tehnologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibiltas dari sebuah informasi yang di sampaikan dan di akses oleh pelanggan internet.
Muladi dalam bukunya yang di tulis bersama Barda Nawawi Arief, “Bungna Rampai Hukum Pidana” memandang cybercrieme dengan pendekatan computer crime (kejahatan komputer). Namun demikian cybercrime sesungguhnya berbeda dengan computer crime (kejahatan komputer).[9]
Andi Hamzah dalam bukunya “Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer” (1989) mengartikan cybercrime sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal sedangkan Forester dan Morrison mendefinisikan kejahatan komputer sebagai aksi kriminal dimana komputer digunakan sebagai senjata utama.
Sementara itu Girasa (2002) mendefinisikan cybercrime sebagai : aksi kejahatan yang menggunakan teknologi komputer sebagai komponen utama dan Tavani (2000) memberikan definisi cybercrime yang lebih menarik, yaitu: kejahatan dimana tindakan kriminal hanya bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi cyber dan terjadi di dunia cyber.[10]

   B.     Bentuk umum kejahatan mayantara.(CyberCrime)
Cybercrime mempunyai bentuk yang beragam, karna setiap negara tidak selalu sama dalam melakukan kriminalisasi, begitu pila dalam setipa negara menyebut apakah suatu perbuatan yang tergolong kejahatan Cybercrime atau bukan kejahaatan Cybercrime juga belum tentu sama.[11]
Karakteristik yang khas dari teknologi telematika juga mempengaruhi perkembangan dan bentuk-bentuk kejahatan yang terus-menerus mengalami metamorfosa. Pada era tahun 1980an saat kejahatan komputer telah mulai mencuat kepermukaan dan mulai mendapat perhatian.[12]
Menurut Al. Wisnubroto pada umumnya kejahatan komputer atau cybercrime dapat di kelompokkan menjadi beberapa bentuk kejahatan sebagai berikut:

1.      Joycomputing.
Joycomputing merupakan pendapat dari N. Kejzer dalam ceramahnya tentang huku  pidana Belanda dan menyalagunakan komputer, di BPHN jakarta penegertian joycomputing adalah seseorang yang menggunakan komputer secara tidak sah/tanpa izin dan mempergunakannya melampaui wewenang[13]. istilah tersebut mengingatkan kepada istilah “joyriding” dimana seseorang memakai sebuah mobil tanpa izin untuk bersenang-senang, setelah itu mobil tersebut di kembalikan.
2.      Hacking.
Istilah Hacking juga merupakan sebuah istilah yang diperkenalkan Nico Nejzer, ia menyatakan Hacking merupakan penyambungan dengan cara menambah terminal komputer baru pada sistem jaringan komputer tanpa izin dan melawan hukum, dari pemilik jaringan komputer tesebut.
3.      The Trojan Horse.
Istilah tersebut pertama kali di perkenalkan di Indonesia oleh Yunus Randy dalam buku yang berjudul “Proteksi Terhadap Kriminalitas dalam Bidang Komputer”. berdasarkan penjelasan keyzer The Trojan Hourse merupakan suatu prosedur menambah engurangi atau mengubah data atau intruksi pada sebuah program, sehingga program tersebut selain menjalankan menjalankan program yang semestinya juga akan menjalankan program yang lain yang tidak sah, dan /atau membuat data atau instruksi pada sebuah program menjadi tidak terjangkau(menhilangkan atau menambah data atau instruksi pada sebuah program dengan tujuan untik kepentingan diri sendiri atau kelompok)
4.      Data Leakage.
Data Leakage( Kebocoran data) adalah suatu perbuatan yang membocorkan data rahasia dengan cara menulis data rahasia tersebut kedalam kode-kode tertentu sehingga data tersebut bisa dibawa keluar tanpa di ketahui oleh pihak yang bertanggung jawab.
5.      Data Diddling.
Data Diddling merupakan suatu perbuatan mengubah data valid/sah dengan cara yang tidak sah, yaitu dengan cara mengubah input data atau output data. yang dimaksud dengan mengubah data  di sini adalah perbuatan sedemikian rupa yang mengakibatkan isinya menjadi lain dari yang asli atau sehingga data tersebut menjadi lain dari yang asli/valid/sah.
6.      Penyia-yiaan data Komputer
Penyia-yian data komputer merupakan sebuah istilah umum yang dapat di artikan sebagai seuatu perbuatan membuat data data atau program komputer tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. hal ini dapat dilakukan dngan cara fisik misalnya dengan cara menghancurkan atau merusak media diket, CD atau media penyimpanan sejenis lainnya, dan dapat pula dilakukan dengan cara non fisik misalnya dengan cara menyiapkan sebuah logic bomb yakni program program yang sengaja di buat untuk melakukan tindakan yang tidak sah sewaktu-waktu atau dengan cara memasukkan virus.
                         
  C.    Kebijakan Hukum Pidana  Dalam Penegakan hukum terhadap kejatan mayantara (Cybercrime)
Istilah kebijakan dalam tulisan ini diambil dari poliy (inggris) atau politiek (belanda) bertolak dari dua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana” dalam pustaka asing istilah politik hukum pidana sering di kenal dengan berbagai macam istilah antara lain penal policy, criminal law policy atau straafrechtspolitiek.[14]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kebijakan diartikan sebagai kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, kebijakan juga dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan disuatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud, sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan.[15]
Sedangkan dalam kamus hukum kebijakan diartikan sebagai sesuatu yang dijadikan garis basar dan dasar rencana dalam pelaksaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan atau organisasi; arah tindakan yang  memiliki maksud yang di tetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan policy.[16]
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau bisa dikenal dengan istilah politik kriminal (penal policy) dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. G. Peter Hoefnagels mengambarkan ruanglingkup criminal policy sebagai berikut.[17]
Rounded Rectangle: Influencing view of society on crime and punhisment (mass media)
 






-          adm. Of crime justice in narrow   - social policy
sense                                              - komunity
- crime legislation                             planing mental
- crim jurisprudence                         healty
- crim process in wide sense          -  nat. mental
- sentencing                                      healty work
                                                            - forensic psyciatry adn psycology        child
                                                            - forensic social work                          - administrative &
                                                            - crim, sentence execution and               civil law
   policy  statistic
                                                                       

Dari skema di atas terlihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara.
a.    Penerapan hukum pidana (criminal law application)
b.    Pencegahan tampa pidana (prevention wihtout pinishment)
c.    Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (Influencing view of society of crime and punisment/mass media)
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan jalur non penal ( bukan/diluar hukum pidana) dalam pembagian yang dilakukan oleh G. P. Hoefnagles diatas, upaya yang di sebut dalam butir (b) dan (c) di golongkan dalam kelompok upaya non penal.
Secara kasar dapat dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represive (penindakan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan pencegahan melalui jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan/ penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan tersebut terjadi. Dikatakann sebagai perbedaan kasar karna tindakan represive pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventive dalam arti luas.[18]
1.      Kebijaakan Penalisasi dalam Penanggulangan kejahatan cybercrime
Undang-undang RI No. 11 Tahun 2008 Tentang Infoemasi dan Transaksi Elektronik bisa dikatakan sebagai undang-undang cyber law yang pertama sekali di Indonesia, bila di hitung sejak naskah akademiknya maka UU ITE di sahkan setelah melalui proses perancangan dan penyusunan yang begitu panjang yakni lebih dari tujuh tahun.[19]
Lahirnya UU ITE merupakan salah satu kemajuan di bidang hukum yang khusus mengatur  tentang kejahatan mayantara, sekalipun transaksi elektronik di tonjolkan dalam penamaan UU ITE namun substansinya sangat luas, yakni mencakup berbagai aspek pemanfaatan teknologi informasi, termasuk masalah kejahatan mayantara.
Nuh Saleh (Menkominfo) sendiri menyatakan bahwa kehadiran UU ITE di harapkan akan mampu menanggulangi berbagai macam kejahatan mayantara yang ada si Indonesia. Dalam sosialisasinya pemerintah menyatakan bahwa UU ITE juga mengakomodasi konvensi Dewan Uni Eropa pada tahun 2001.[20]
Berikut ini merupakan tindak pidana cybercrime yang di atur dalam UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik[21]:
1.        Akses Tidak Sah (Illegel Access)
Perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana akses yang tidak dah terhadap komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain yang di atur dalam pasal 30 UU ITE sebagai berikut”
1.      Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau alat eletronik milik orang lain dengan cara apapun.
2.      Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau alat eletronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi eletronik dan/atau dokumen eletronik.
3.      Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau alat eletronik dengan cara apapun melanggar, menerobos, malampaui atay menjebol sistem pengamanan.
Sedangkan ancaman pidananya di atur dalam Pasal 46 sebagai berikut:
1. setiap orang yang memenuhi unsur sebagamana yang di maksud dalam Pasal 30 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 600.000.000 (enam ratus juta rupiah)
2. setiap orang yang memenuhi unsur sebagamana yang di maksud dalam Pasal 30 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak 700.000.000 (tujuh ratus juta rupiah)
3. setiap orang yang memenuhi unsur sebagamana yang di maksud dalam Pasal 30 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun dan/atau denda paling banyak 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah)

2.      Penyadapan atau Interepsi Tidak Sah(Intercepting).
Tindak pidana intersepsi diatur dalam Pasal 31 UU ITE sebagai berikut:
1.      Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas infomasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain.
2.      Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas infomasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke dan didalam suatu komputer dan/atau sitem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan, penghilangan dan/atau penghentian informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan.
3.      Kecuali intersepsi sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1dan ayat 2 intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisisan, kejaksaan dan/atau institusi penehak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
4.      Ketentuan intersepsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Perlu dikemukakan di sisni bahwa MA dalam putusan No.5/PUU-VIII/2010telah membatalkan ketentuan Pasal 31 ayat 4 UU ITE yang berisi tata cara penyadapan yang hanya di atur oleh Peraturan Pemerintah. Dan yang dimaksud intersepsi atau penyadapan addalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromaknetis atau radio.
Sedangkan ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 47 UU ITE sebagai berikut: setipa orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat 1 atau ayat 2 di pidanan dengan pidanan penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banya 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah

3.      Gangguan Terhadap data Komputer(Data Interference).
Tindak pidana gangguan terhadap data komputer di atur dalam Pasal 32 UU ITE yaitu sebagai berikut:
1.      Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukumdengan cara apapun mengubah, merusak, menghilangkan, memindahkan menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain atau milik publik.
2.      Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapinmemindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.
3.      Terhadap perbuatan sebagaimana yang di maksud pada aayat 1 yang mengakibatkan terbukannya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat di akses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Sedangkaan ketentuan pidana sebagaimana yang di maksud pada pasal tersebut diatur dalam Pasal 48 UU ITE sebagai berikut:
1.      Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 1 di pidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun dan/atau denda paling banyak 2.000.000.000 (dua miliar rupiah)
2.      Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 2 di pidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda paling banyak 3.000.000.000(tiga miliar rupiah)
3.      Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 3 di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 5.000.000.000(lima miliar rupiah)
4.      Gangguan Terhadap Sistem Komputer(Sistem Interference)
Tindak pidana berupa berupa gangguan sistem diatur dalam Pasal 33 UU ITE sebagai berikut: “setiap orang dengan sengaja tanapa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagai mana mestinya”. Ketententuan pidana dari pasal ini di atur dalam Pasal 49 UU ITE “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 33 UU ITE di pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 10.000.000.000(sepulu miliar rupiah)
5.      Penyalagunaan Perangkat Lunak Komputer(Misuse of Device).
Tindak pidana berupa Penyalagunaan Perangkat Lunak Komputer(Misuse of Device). Di atur dalam Pasal 34  UU ITE sebagai berikut:
1.      Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki
a.    Perangkat keras atau perangkkat lunak komputer yang di rancang atau khusus dikembangkan untuk mengfasilitasi perbuatan sebagaimana di maksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 33.
b.    Sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan hal itu yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat di akses dengan tujuan mengfasilitasi perbuatan sebagaimana di maksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 33.
2.    Tindakan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan penelitian, pengujian sistem elektronik, untik perlindungan sistem elektronik itu sendiri secara sah.
Dalam penjelasan pasal 34 ayat 2 UU ITE di uraikan bahwa yang dimaksud dengan “kegiatan penelitian” adalah penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian yang memiliki izin. Sedangkan ancaman pidana terhadap penyalagunaan perangkat lunak komputer tertuang dalam Pasal 50 UU ITE sebagai berikut: “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat 1 di pidana denagan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 10.000.000.000 (sepulu miliar rupiah).[22]
6.      Pemalsuan Melalui Komputer(Computer related Forgery).
Pelamalsuan melalui komputer diatur dalam pasal 35 UU ITE sebagaimana di terangkang berikut: “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi , penciptaan perubahan, pengerusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut di anggap seolah-oleh data otentik. Dan  ancaman pidananya di atur dalam Pasal 51 sebagai berikut “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 35 di pidana denagan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak 12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah)
Sedangkan Pasal 36 UU ITE menyatakan Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain. ancaman pidanan juga terdapat dalam Pasal 51 yaitu apabila memenuhi unsur sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 36 dipidanan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak 12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah)
7.      Pornograafi melalui Komputer(phornography)
Perbuatan pidanan pornografi di atur dalam Pasal 27 ayat 1 UU ITE sebagaimana berikut:
1.      Setiap orang dengan sengaja dan tampa hak menditribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat di aksesnya informasi eletronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.
       Sedangkan ancaman pidannya apabila memenuhi unsur sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 27 ayat 1, 2, 3, dan 4 di pidanan penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1.000.000.000 ( satu miliar rupiah)
8.      Kejahatan “Tradisional” Yang Menggunakan Komputer.
Perbuatan pidana tradisional juga di atur dalam Pasal 27 ayat 2, 3, dan 4 sebagai mana berikut:
2.      Setiap orang dengan sengaja dan tampa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat di aksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.
3.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
4.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Sedangkan ancama pidananya juga di atur dalam Pasal 51 sebagai berikut “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang di maksud dalam pasal 27 ayat 1, 2, 3 dan 4 dipidanan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak 12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah)
Selain itu tindak pidana penyebaran berita bohong memalui internet di atur dalam Pasal 28 sebagai berikut:
1.      Setiap orang dengan sengaja dan tampa hak menyebarkan berita bohong dan meyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi eklektronik.
2.      Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang di tujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau pemusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Sedangkan ancaman pidanannya di atur dalam Pasal 54 ayat 2 sebagai berikut:
2.    Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal  28 ayat (1) dan (2) dipidana paling lama (6) enam tahun dan/atau denda paling banyak 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
                                    Tindak pidana pengancaman melalui internet kepada seseorang di atur dalam Pasal 29 sebagai berikut:
1.      Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Dan ancaman pidannya sebagai berikut “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Passal 29 dipidana penjara paling lama  12 tahun dan/atau denda paling banyak 12.000.000.000. (dua belas miliar rupiah)
2.      kebijakan Non-penanl dalam penanggulangan Kejahatan Cybercrime
Kebijakan non penal dapat ditempuh dengan cara memperbaiki perekonomian nasional, malakukan pendidikan budi pekerti kepada setiap orang, baik secara formil terutama kepada pihak yang rentang melakukan kejahatan, memperbaiki sistem kesehatan mental masyarakat, mengefektifkan kerja sama internasional dalam pemberantasan cybercrime, memperbaiki sistem pengamanan sistem komputer serta mengefektifkan hukum daministrasi dan hukum perdata yang berhubungan dengan penyelenggaraan sistem dan jaringan internet.[23]
Berkaitan dengan penanggulangan cybercrime malalui sana nonpenal, muladi berpendapat  sebagai berikut:
1.      perlu dirumuskan terlebih dahulu model undang-undang payung yang mengatur kebijakan tentang
keterbatasan hukum pidana yang di kemukakan oleh barda nawawi sbb[24]:
1.      sebab kejahatan tersebut demikian kompleks berada diluar jangkauan hukum pidana.
2.      hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsitem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kemanusian dan kemasyarakanatan yag sangat kompleks
3.      penanggulanagan hukum pidanan dalam menanggulani kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom” oleh karna itu hukum pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kuasatif”
4.      sanksi hukum pidana merupakan remidium yang mengandung sifat kotradiktif/paradoksal dan mengandung unsur serta efek sampingan yang negatif
5.      sistem pemidanaan bersifat frakmentair dan individual/personal tidak bersifat struktural atau fungsional.
6.      Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan saksi pidana yang bersifat kaku dan impreatif.
7.      Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi
Muladi[25] juga menyatakan bahwa dalam konteks kebijakan non penal dalam menanggulangi cybercrime perlu diupayakan hal-hal seperti kerjasama knternasional, seperti program 24 hours point of contact untuk menghadapi kejahatan cyybercrime. salah satu contoh kerjasama internasional yaitu spontaneus information, spontaneus information adalah suatu komitmen tanpa diminta segera menyebarluaskan informasi bilamana ditemukan hal-hal negatif yang bisa dijadikan bahan inverstigasii, pembuktian, proses peradilan tentang cybercrime bagi negara lain.
Agus Rahardjo[26] juga mengemukakan bahwa dalam rangka penerapan kebijakan non-penal perlu ada langkah-langkah preventif dari pemilik jaringan komputer. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.       Mengatur akses melalui outbentication dan access control
b.      Menutup servis yang tidak digunkan
c.       Memasang proteksi.
d.      Firewall
e.       pemantauan adanya serangan.
f.       pemantau integritas sistem.
g.      mengamati berkas log.
h.      melakukan back up secara rutin.
i.        penggunaan encription  untuk meningkatkan keamanan.
j.        menggunakan shell yang aman.
Dalam pencegahan dan penanggulangan tindak pidana cybercrime ini masing-masing pihak harus optimis, artinya kehatan apapun yang dilakukan pasti ada jalan keluar untuk mencegah dan menanggulanginya. Rasa optimis dalam diri Michael A. Vatis dalam penanggulangan cybercrime ini dapat dicontoh seperti yang ia kemukakan dalam pernyataannnya kepada senate Judiciary, Criminal Justice Oversight, Subcommite and Hause Judiaciary commite, Crime Subcommite Washinton D.C.[27]
Rasa optimis seperti ini tampaknya perlu ditumbuhkan pada setiap pengguuna internet, baik oleh kalangan politisi, penguasa, budayawan, ilmuwan, dan terutama penegak hukum. bagi polri rasa optimis ini akan menumbuhkan semangat bahwa tidak ada kejahatan yang tidak bisa diberantas.





[1] Widodo, Sistem Pemidanaan Dalam Cybercrime, Alternatif Ancaman Pidana Kerja Sosial dan Pidana Bagi Pelaku Cybercrime. Cetakan pertama. Laksbang Mediatama. Yogyakarta. 2009. Hal 24
[2] Ibid­_hal 23
[3] Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, hal 259
[4] Widodo, Op Cit., hal 5
[5] Al. Wisnubroto, Strategi Penanggulangan Kejahatan Telematika. Cetakan pertama,  Atma Jaya Yogyakarta Press, Yogyakarta 2010, hal  6
[6] Drs. Abdul Wahid, dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cybercrime). Cetakan pertama PT. Rfika Aditama. Bandung 2005. Hal  40
[7] Ibid_
[8] Ibid_
[9] Ibid_ hal 41
[10] http://kasuskejahatandunimaya.blogspot.com/2012/12/a-pengertian-cyber-crime.html
[11] Widodo,  Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Cetakan pertama, Aswaja Presindo, feb 2013, Yogyakarta, hal  163
[12] Al. Wisnubroto, Konsep Hukum Pidana Telematika, Cetakan pertama, Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta 2011, haal 75.
[13] Al. Wisnubroto, Strategi Penanggulangan Kejahatan Telematika, OP Cit., Hal 10.
[14] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Cetakan ketiga, Edisi revisi, hal 24
[15] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 131
[16] M. Marwah, Kamus Hukum, Cetakan Pertama, Reality Publhiser, Surabaya, 2009, hal.334
[17] Barda Nawawi Arief, bunga rampai kebijakan hukum pidana, cetakan ketiga, citra aditya bakti, bandung 2005, hlm 41
[18] Sundarto, kapita Selekta Hukum Pidana, 1981, hal 118.
[19] Al. wisnubroto, Op Cit., hal 205
[20] Al. Wisnubroto, Op Cit., hal 206
[21]  Widodo, Hukum pidana di bidang teknologi dan informasi, cybercrime law, telaa teoritik dan bedah kasus. Cetakan pertama.  Aswaja pressindo. Yogyakarta 2013 hal 109
[22] Ibid_ hal 111
[23] Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Op Cit., hal.191
[24] Agus Raharjo, CYBERCRIME, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Bertehnologi, cetakan pertama,  Citra Aditya Bakti, Bandung 2002, hal 244-245
[25] Widodo, Op Cit., Hal, 192
[26] Widodo, Op cit., Hal. 193
[27] im optimistic that the hard work of us agents, analisyst, and computer scientists: the  excellent corpooration and collabrtion we have private industry and Universities: and the teamwork we are engaged in whit foreign partners will in the end prove successful.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar