A.
Pengertian
kejahatan mayantara (cybercrime).
Pada perkembangannya internet ternyata
membawa sisi negatif, dengan membuka peluang munculnya tindakan anti sosial
yang selama ini di anggap tidak mungkin terjadi atau tidak terpikirkan akan
terjadi. Sebuah teori menyatakan Crime is
product of society its self, yang secara sederhana dapat di artikan
masyarakat itu sendirilah yang menghasilkan kejahatan.
Dalam laporan kongres PBB ke-X/ 19 juli
2000 di wina dinyatakan sebagai berikut “
cyber crime atau computer-relatetd crime mencakup seluruh keseluruhan bentuk-bentuk
baru dari kejahatan yang di tujukan pada komputer, jaringan komputer dan para
penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan terdisional yang sekarang dilakukan
dengan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer.[1]
Secara terminologis kejahatan yang
berbasis pada teknologi dan informasi dengan menggunakan media komputer
sebagaimana terjadi pada saat ini, berbagai macam istilah yang digunkan oleh
parah ahli, misalnya seperti computer
misuse, computer abuse, compuetr fraud, computer related crime, computer
assisted crime, atau komputer crime,[2]
menurut Barda Nawawi Arief, pengertian computer-related
crime sama dengan cybercrime[3].
Namu dalam konvensiInternasional Tahun 2001 menggunkan istilah Cybercrime.[4]
Dalam buku Strategi penanggulangan kejahatan telematika yang ditulis oleh Al.
Wisnubroto, istilah yang digunakan untuk kejahatan yang di lakukan di dunia
maya atau kejatan yang dilakukan melalui bantuan elektronik berbeda dengan apa
yang digunakan oleh pakar yang lain, beliau lebih suka menggunkan istilah Kajahatan Telekomunikasi. Hal bukan
tidak ada alasan yang di kemukan beliau dalam buku tersebut.
Dalam penjelasannya kejahatan telematika
merupakan penyalagunaan teknologi yang terkonvergensi dari komputer, media dan
informatika, dengan didasari motif kriminal atau secara tercela, secara ilegal
atau melawan hukum atau dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pengertian kejahatan telematika tersebut mencakup pula lingkup pengertian
kejahatan komputer, atau kejahatan siber baik dalam pengertian sempit maupun
dalam pengertian luas.[5]
Menurut kepolisian inggris, cybercrime adalah segala macam
penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan/atau kriminal
berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan tehnologi digital (Ade
Maman Suherman, 2002:168)[6]
Berdasarkan penjelasan tersebut, yang
menjadi cacatan di sini yaitu tidak di jelaskannya apa yang di maksud dengan
jaringan komputer, apabila di maknai secara luas maka akan meliputi LAN (lokal area network) dan internet. Dan
LAN mempunyai karakter yang berbeda dengan internet.
Dalam beberapa literatur, cybercrime sering diidentikkan dengan computer crime. The US Depertement Of Justice memberikan penegertian sebagai “any Illegel act requiring knowledge of
computer for its perpretation, investigation, or presecution” artinya
“setiap perbuatan yang melanggar hukum yang memerlukan pengetahuan tentang
komputer untuk menangani, menyelidiki dan menuntutnya.[7]
Sementara pengertian lain yang diberikan
oleh Organization of European Community Development
yaitu: “any illegal unthical or
unauthorized behaviourbrelating to the autometic processing and/or tranmission
of data” artinya setiap perilaku ilegal, tidak pantas, tidak mempunyai
kewenangan yaang berhubungan dengan pengolahan data dan/atau pengiriman data.[8]
Indra Safitri mengemukakan, kejahatan
dunia maya adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah
teknologi tanpa batas dan memiliki karakteristik yang kuat dan sebuah rekayasa tehnologi yang
mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibiltas dari sebuah
informasi yang di sampaikan dan di akses oleh pelanggan internet.
Muladi dalam bukunya yang di tulis
bersama Barda Nawawi Arief, “Bungna
Rampai Hukum Pidana” memandang cybercrieme
dengan pendekatan computer crime
(kejahatan komputer). Namun demikian cybercrime
sesungguhnya berbeda dengan computer
crime (kejahatan komputer).[9]
Andi Hamzah dalam
bukunya “Aspek-aspek Pidana di
Bidang Komputer” (1989) mengartikan cybercrime sebagai
kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai
penggunaan komputer secara ilegal sedangkan Forester dan Morrison mendefinisikan kejahatan komputer
sebagai aksi kriminal dimana komputer digunakan sebagai senjata utama.
Sementara itu Girasa (2002) mendefinisikan cybercrime sebagai : aksi kejahatan yang
menggunakan teknologi komputer sebagai komponen utama dan Tavani (2000) memberikan definisi
cybercrime yang lebih menarik, yaitu: kejahatan dimana tindakan kriminal hanya
bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi cyber
dan terjadi di dunia cyber.[10]
B.
Bentuk
umum kejahatan mayantara.(CyberCrime)
Cybercrime
mempunyai bentuk yang beragam, karna setiap negara tidak selalu sama dalam
melakukan kriminalisasi, begitu pila dalam setipa negara menyebut apakah suatu
perbuatan yang tergolong kejahatan Cybercrime
atau bukan kejahaatan Cybercrime juga
belum tentu sama.[11]
Karakteristik
yang khas dari teknologi telematika juga mempengaruhi perkembangan dan
bentuk-bentuk kejahatan yang terus-menerus mengalami metamorfosa. Pada era
tahun 1980an saat kejahatan komputer telah mulai mencuat kepermukaan dan mulai
mendapat perhatian.[12]
Menurut
Al. Wisnubroto pada umumnya kejahatan komputer atau cybercrime dapat di
kelompokkan menjadi beberapa bentuk kejahatan sebagai berikut:
1. Joycomputing.
Joycomputing
merupakan pendapat dari N. Kejzer dalam ceramahnya tentang huku pidana Belanda dan menyalagunakan komputer,
di BPHN jakarta penegertian joycomputing
adalah seseorang yang menggunakan komputer secara tidak sah/tanpa izin dan
mempergunakannya melampaui wewenang[13].
istilah tersebut mengingatkan kepada istilah “joyriding” dimana seseorang
memakai sebuah mobil tanpa izin untuk bersenang-senang, setelah itu mobil
tersebut di kembalikan.
2. Hacking.
Istilah
Hacking juga merupakan sebuah istilah
yang diperkenalkan Nico Nejzer, ia menyatakan Hacking merupakan penyambungan dengan cara menambah terminal
komputer baru pada sistem jaringan komputer tanpa izin dan melawan hukum, dari
pemilik jaringan komputer tesebut.
3. The
Trojan Horse.
Istilah
tersebut pertama kali di perkenalkan di Indonesia oleh Yunus Randy dalam buku
yang berjudul “Proteksi Terhadap Kriminalitas dalam Bidang Komputer”.
berdasarkan penjelasan keyzer The Trojan
Hourse merupakan suatu prosedur menambah engurangi atau mengubah data atau
intruksi pada sebuah program, sehingga program tersebut selain menjalankan
menjalankan program yang semestinya juga akan menjalankan program yang lain
yang tidak sah, dan /atau membuat data atau instruksi pada sebuah program
menjadi tidak terjangkau(menhilangkan atau menambah data atau instruksi pada sebuah
program dengan tujuan untik kepentingan diri sendiri atau kelompok)
4. Data
Leakage.
Data
Leakage( Kebocoran data) adalah suatu
perbuatan yang membocorkan data rahasia dengan cara menulis data rahasia
tersebut kedalam kode-kode tertentu sehingga data tersebut bisa dibawa keluar
tanpa di ketahui oleh pihak yang bertanggung jawab.
5. Data
Diddling.
Data
Diddling merupakan suatu perbuatan
mengubah data valid/sah dengan cara yang tidak sah, yaitu dengan cara mengubah input data atau output data. yang dimaksud dengan mengubah data di sini adalah perbuatan sedemikian rupa yang
mengakibatkan isinya menjadi lain dari yang asli atau sehingga data tersebut
menjadi lain dari yang asli/valid/sah.
6. Penyia-yiaan
data Komputer
Penyia-yian
data komputer merupakan sebuah istilah umum yang dapat di artikan sebagai
seuatu perbuatan membuat data data atau program komputer tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. hal ini dapat dilakukan dngan cara
fisik misalnya dengan cara menghancurkan atau merusak media diket, CD atau
media penyimpanan sejenis lainnya, dan dapat pula dilakukan dengan cara non
fisik misalnya dengan cara menyiapkan sebuah logic bomb yakni program program yang sengaja di buat untuk
melakukan tindakan yang tidak sah sewaktu-waktu atau dengan cara memasukkan
virus.
C.
Kebijakan
Hukum Pidana Dalam Penegakan hukum terhadap
kejatan mayantara (Cybercrime)
Istilah
kebijakan dalam tulisan ini diambil dari poliy
(inggris) atau politiek (belanda)
bertolak dari dua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat
pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana” dalam pustaka asing istilah
politik hukum pidana sering di kenal dengan berbagai macam istilah antara lain penal policy, criminal law policy atau straafrechtspolitiek.[14]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Kebijakan diartikan sebagai kepandaian, kemahiran,
kebijaksanaan, kebijakan juga dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas
yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan disuatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi dan
sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud, sebagai garis
pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan.[15]
Sedangkan
dalam kamus hukum kebijakan diartikan sebagai sesuatu yang dijadikan garis
basar dan dasar rencana dalam pelaksaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dalam
pemerintahan atau organisasi; arah tindakan yang memiliki maksud yang di tetapkan oleh seorang
aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan policy.[16]
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau
bisa dikenal dengan istilah politik kriminal (penal policy) dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. G.
Peter Hoefnagels mengambarkan ruanglingkup criminal policy sebagai berikut.[17]
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
![]() |
||||||
-
adm. Of crime justice
in narrow - social policy
sense -
komunity


- crim process in wide sense -
nat. mental
- sentencing
healty work
-
forensic psyciatry adn psycology child
-
forensic social work -
administrative &
-
crim, sentence execution and civil law
policy
statistic
Dari
skema di atas terlihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh
dengan cara.
a. Penerapan
hukum pidana (criminal law application)
b. Pencegahan
tampa pidana (prevention wihtout
pinishment)
c. Mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (Influencing view of society of crime and
punisment/mass media)
Dengan
demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua,
yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan jalur non penal ( bukan/diluar hukum
pidana) dalam pembagian yang dilakukan oleh G. P. Hoefnagles diatas, upaya yang
di sebut dalam butir (b) dan (c) di golongkan dalam kelompok upaya non penal.
Secara
kasar dapat dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal
lebih menitikberatkan pada sifat represive
(penindakan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan
pencegahan melalui jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive
(pencegahan/ penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan tersebut terjadi.
Dikatakann sebagai perbedaan kasar karna tindakan represive pada hakikatnya
juga dapat dilihat sebagai tindakan preventive dalam arti luas.[18]
1.
Kebijaakan
Penalisasi dalam Penanggulangan kejahatan cybercrime
Undang-undang
RI No. 11 Tahun 2008 Tentang Infoemasi dan Transaksi Elektronik bisa dikatakan
sebagai undang-undang cyber law yang pertama sekali di Indonesia, bila di
hitung sejak naskah akademiknya maka UU ITE di sahkan setelah melalui proses
perancangan dan penyusunan yang begitu panjang yakni lebih dari tujuh tahun.[19]
Lahirnya
UU ITE merupakan salah satu kemajuan di bidang hukum yang khusus mengatur tentang kejahatan mayantara, sekalipun
transaksi elektronik di tonjolkan dalam penamaan UU ITE namun substansinya
sangat luas, yakni mencakup berbagai aspek pemanfaatan teknologi informasi,
termasuk masalah kejahatan mayantara.
Nuh
Saleh (Menkominfo) sendiri menyatakan bahwa kehadiran UU ITE di harapkan akan
mampu menanggulangi berbagai macam kejahatan mayantara yang ada si Indonesia.
Dalam sosialisasinya pemerintah menyatakan bahwa UU ITE juga mengakomodasi
konvensi Dewan Uni Eropa pada tahun 2001.[20]
Berikut
ini merupakan tindak pidana cybercrime
yang di atur dalam UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik[21]:
1. Akses Tidak Sah (Illegel Access)
Perbuatan
yang memenuhi unsur tindak pidana akses yang tidak dah terhadap komputer
dan/atau sistem elektronik milik orang lain yang di atur dalam pasal 30 UU ITE
sebagai berikut”
1. Setiap orang
yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau alat
eletronik milik orang lain dengan cara apapun.
2. Setiap orang
yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau alat
eletronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi eletronik
dan/atau dokumen eletronik.
3. Setiap orang
yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau alat
eletronik dengan cara apapun melanggar, menerobos, malampaui atay menjebol
sistem pengamanan.
Sedangkan
ancaman pidananya di atur dalam Pasal 46 sebagai berikut:
1. setiap
orang yang memenuhi unsur sebagamana yang di maksud dalam Pasal 30 ayat 1
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak
600.000.000 (enam ratus juta rupiah)
2. setiap
orang yang memenuhi unsur sebagamana yang di maksud dalam Pasal 30 ayat 2
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak
700.000.000 (tujuh ratus juta rupiah)
3. setiap
orang yang memenuhi unsur sebagamana yang di maksud dalam Pasal 30 ayat 3
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun dan/atau denda paling banyak
800.000.000 (delapan ratus juta rupiah)
2. Penyadapan
atau Interepsi Tidak Sah(Intercepting).
Tindak
pidana intersepsi diatur dalam Pasal 31 UU ITE sebagai berikut:
1. Setiap orang
yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau
penyadapan atas infomasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu
komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain.
2. Setiap orang
yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau
penyadapan atas infomasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak
bersifat publik dari, ke dan didalam suatu komputer dan/atau sitem elektronik
tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan, penghilangan
dan/atau penghentian informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
sedang ditransmisikan.
3. Kecuali
intersepsi sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1dan ayat 2 intersepsi yang
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisisan, kejaksaan
dan/atau institusi penehak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang.
4. Ketentuan
intersepsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 3 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Perlu
dikemukakan di sisni bahwa MA dalam putusan No.5/PUU-VIII/2010telah membatalkan
ketentuan Pasal 31 ayat 4 UU ITE yang berisi tata cara penyadapan yang hanya di
atur oleh Peraturan Pemerintah. Dan yang dimaksud intersepsi atau penyadapan
addalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat
dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun
jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromaknetis atau radio.
Sedangkan
ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 47 UU ITE sebagai berikut: setipa orang
yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat 1 atau ayat 2
di pidanan dengan pidanan penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling
banya 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah
3. Gangguan
Terhadap data Komputer(Data Interference).
Tindak
pidana gangguan terhadap data komputer di atur dalam Pasal 32 UU ITE yaitu
sebagai berikut:
1. Setiap orang
yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukumdengan cara apapun mengubah,
merusak, menghilangkan, memindahkan menyembunyikan suatu informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain atau milik
publik.
2. Setiap orang
yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapinmemindahkan
atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem
elektronik orang lain yang tidak berhak.
3. Terhadap
perbuatan sebagaimana yang di maksud pada aayat 1 yang mengakibatkan
terbukannya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
bersifat rahasia menjadi dapat di akses oleh publik dengan keutuhan data yang
tidak sebagaimana mestinya.
Sedangkaan
ketentuan pidana sebagaimana yang di maksud pada pasal tersebut diatur dalam
Pasal 48 UU ITE sebagai berikut:
1. Setiap orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 1 di pidana dengan
pidana penjara paling lama 8 tahun dan/atau denda paling banyak 2.000.000.000
(dua miliar rupiah)
2. Setiap orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 2 di pidana dengan
pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda paling banyak
3.000.000.000(tiga miliar rupiah)
3. Setiap orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 3 di pidana dengan
pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak
5.000.000.000(lima miliar rupiah)
4. Gangguan
Terhadap Sistem Komputer(Sistem
Interference)
Tindak
pidana berupa berupa gangguan sistem diatur dalam Pasal 33 UU ITE sebagai
berikut: “setiap orang dengan sengaja tanapa hak atau melawan hukum melakukan
tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau
mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagai mana mestinya”.
Ketententuan pidana dari pasal ini di atur dalam Pasal 49 UU ITE “setiap orang
yang memenuhi unsur sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 33 UU ITE di pidana
penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 10.000.000.000(sepulu
miliar rupiah)
5. Penyalagunaan
Perangkat Lunak Komputer(Misuse of Device).
Tindak
pidana berupa Penyalagunaan Perangkat Lunak Komputer(Misuse of Device). Di atur
dalam Pasal 34 UU ITE sebagai berikut:
1. Setiap orang
yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan
untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki
a. Perangkat
keras atau perangkkat lunak komputer yang di rancang atau khusus dikembangkan
untuk mengfasilitasi perbuatan sebagaimana di maksud dalam Pasal 27 sampai
Pasal 33.
b. Sandi lewat
komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan hal itu yang ditujukan agar
sistem elektronik menjadi dapat di akses dengan tujuan mengfasilitasi perbuatan
sebagaimana di maksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 33.
2. Tindakan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 bukan tindak pidana jika ditujukan untuk
melakukan penelitian, pengujian sistem elektronik, untik perlindungan sistem
elektronik itu sendiri secara sah.
Dalam
penjelasan pasal 34 ayat 2 UU ITE di uraikan bahwa yang dimaksud dengan
“kegiatan penelitian” adalah penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian
yang memiliki izin. Sedangkan ancaman pidana terhadap penyalagunaan perangkat
lunak komputer tertuang dalam Pasal 50 UU ITE sebagai berikut: “setiap orang
yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat 1 di pidana
denagan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak
10.000.000.000 (sepulu miliar rupiah).[22]
6. Pemalsuan
Melalui Komputer(Computer related Forgery).
Pelamalsuan
melalui komputer diatur dalam pasal 35 UU ITE sebagaimana di terangkang
berikut: “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan manipulasi , penciptaan perubahan, pengerusakan informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik tersebut di anggap seolah-oleh data otentik. Dan ancaman pidananya di atur dalam Pasal 51
sebagai berikut “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 35 di pidana denagan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau
denda paling banyak 12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah)
Sedangkan
Pasal 36 UU ITE menyatakan Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi
orang lain. ancaman pidanan
juga terdapat dalam Pasal 51 yaitu apabila memenuhi unsur sebagaimana yang di
maksud dalam Pasal 36 dipidanan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun
dan/atau denda paling banyak 12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah)
7. Pornograafi
melalui Komputer(phornography)
Perbuatan
pidanan pornografi di atur dalam Pasal 27 ayat 1 UU ITE sebagaimana berikut:
1. Setiap orang
dengan sengaja dan tampa hak menditribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat di aksesnya informasi eletronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan melanggar kesusilaan.
Sedangkan ancaman pidannya apabila
memenuhi unsur sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 27 ayat 1, 2, 3, dan 4 di
pidanan penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1.000.000.000
( satu miliar rupiah)
8. Kejahatan
“Tradisional” Yang Menggunakan Komputer.
Perbuatan
pidana tradisional juga di atur dalam Pasal 27 ayat 2, 3, dan 4 sebagai mana
berikut:
2. Setiap orang
dengan sengaja dan tampa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat di aksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan perjudian.
3. Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
4. Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Sedangkan
ancama pidananya juga di atur dalam Pasal 51 sebagai berikut “setiap orang yang
memenuhi unsur sebagaimana yang di maksud dalam pasal 27 ayat 1, 2, 3 dan 4 dipidanan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun
dan/atau denda paling banyak 12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah)
Selain itu
tindak pidana penyebaran berita bohong memalui internet di atur dalam Pasal 28
sebagai berikut:
1. Setiap orang
dengan sengaja dan tampa hak menyebarkan berita bohong dan meyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi eklektronik.
2. Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang di tujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau pemusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Sedangkan
ancaman pidanannya di atur dalam Pasal 54 ayat 2 sebagai berikut:
2. Setiap orang yang memenuhi unsur
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) dan (2) dipidana paling lama (6) enam tahun dan/atau denda paling
banyak 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Tindak pidana pengancaman melalui
internet kepada seseorang di atur dalam Pasal 29 sebagai berikut:
1. Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi. Dan ancaman pidannya sebagai berikut “setiap orang yang
memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Passal 29 dipidana penjara
paling lama 12 tahun dan/atau denda
paling banyak 12.000.000.000. (dua belas miliar rupiah)
2.
kebijakan
Non-penanl dalam penanggulangan Kejahatan Cybercrime
Kebijakan
non penal dapat ditempuh dengan cara memperbaiki perekonomian nasional,
malakukan pendidikan budi pekerti kepada setiap orang, baik secara formil
terutama kepada pihak yang rentang melakukan kejahatan, memperbaiki sistem
kesehatan mental masyarakat, mengefektifkan kerja sama internasional dalam
pemberantasan cybercrime, memperbaiki sistem pengamanan sistem komputer serta
mengefektifkan hukum daministrasi dan hukum perdata yang berhubungan dengan
penyelenggaraan sistem dan jaringan internet.[23]
Berkaitan
dengan penanggulangan cybercrime
malalui sana nonpenal, muladi berpendapat
sebagai berikut:
1. perlu
dirumuskan terlebih dahulu model undang-undang payung yang mengatur kebijakan
tentang
keterbatasan
hukum pidana yang di kemukakan oleh barda nawawi sbb[24]:
1. sebab
kejahatan tersebut demikian kompleks berada diluar jangkauan hukum pidana.
2. hukum
pidana hanya merupakan bagian kecil (subsitem) dari sarana kontrol sosial yang
tidak mungkin mengatasi masalah kemanusian dan kemasyarakanatan yag sangat
kompleks
3. penanggulanagan
hukum pidanan dalam menanggulani kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom” oleh karna itu
hukum pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan
kuasatif”
4. sanksi
hukum pidana merupakan remidium yang mengandung sifat kotradiktif/paradoksal
dan mengandung unsur serta efek sampingan yang negatif
5. sistem
pemidanaan bersifat frakmentair dan individual/personal tidak bersifat
struktural atau fungsional.
6. Keterbatasan
jenis sanksi pidana dan sistem perumusan saksi pidana yang bersifat kaku dan
impreatif.
7. Bekerjanya/berfungsinya
hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih
menuntut biaya tinggi
Muladi[25]
juga menyatakan bahwa dalam konteks kebijakan non penal dalam menanggulangi cybercrime perlu diupayakan hal-hal
seperti kerjasama knternasional, seperti program 24 hours point of contact untuk menghadapi kejahatan cyybercrime.
salah satu contoh kerjasama internasional yaitu spontaneus information, spontaneus
information adalah suatu komitmen tanpa diminta segera menyebarluaskan
informasi bilamana ditemukan hal-hal negatif yang bisa dijadikan bahan
inverstigasii, pembuktian, proses peradilan tentang cybercrime bagi negara
lain.
Agus
Rahardjo[26]
juga mengemukakan bahwa dalam rangka penerapan kebijakan non-penal perlu ada
langkah-langkah preventif dari pemilik jaringan komputer. Langkah-langkah yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Mengatur
akses melalui outbentication dan access control
b. Menutup
servis yang tidak digunkan
c. Memasang
proteksi.
d. Firewall
e. pemantauan
adanya serangan.
f. pemantau
integritas sistem.
g.
mengamati berkas log.
h. melakukan
back up secara rutin.
i.
penggunaan encription untuk meningkatkan keamanan.
j.
menggunakan shell yang aman.
Dalam
pencegahan dan penanggulangan tindak pidana cybercrime ini masing-masing pihak
harus optimis, artinya kehatan apapun yang dilakukan pasti ada jalan keluar
untuk mencegah dan menanggulanginya. Rasa optimis dalam diri Michael A. Vatis
dalam penanggulangan cybercrime ini dapat dicontoh seperti yang ia kemukakan
dalam pernyataannnya kepada senate Judiciary, Criminal Justice Oversight,
Subcommite and Hause Judiaciary commite, Crime Subcommite Washinton D.C.[27]
Rasa
optimis seperti ini tampaknya perlu ditumbuhkan pada setiap pengguuna internet,
baik oleh kalangan politisi, penguasa, budayawan, ilmuwan, dan terutama penegak
hukum. bagi polri rasa optimis ini akan menumbuhkan semangat bahwa tidak ada
kejahatan yang tidak bisa diberantas.
[1] Widodo, Sistem Pemidanaan Dalam Cybercrime,
Alternatif Ancaman Pidana Kerja Sosial dan Pidana Bagi Pelaku Cybercrime.
Cetakan pertama. Laksbang Mediatama. Yogyakarta. 2009. Hal 24
[2] Ibid_hal 23
[3] Barda Nawawi Arief, Perbandingan
Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, hal 259
[4] Widodo, Op Cit., hal 5
[5] Al. Wisnubroto, Strategi Penanggulangan
Kejahatan Telematika. Cetakan pertama,
Atma Jaya Yogyakarta Press, Yogyakarta 2010, hal 6
[6] Drs. Abdul Wahid, dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cybercrime). Cetakan pertama PT. Rfika Aditama.
Bandung 2005. Hal 40
[7] Ibid_
[8] Ibid_
[9] Ibid_ hal 41
[10] http://kasuskejahatandunimaya.blogspot.com/2012/12/a-pengertian-cyber-crime.html
[11] Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Cetakan pertama, Aswaja
Presindo, feb 2013, Yogyakarta, hal 163
[12] Al. Wisnubroto, Konsep Hukum Pidana
Telematika, Cetakan pertama, Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta 2011, haal
75.
[13] Al. Wisnubroto, Strategi
Penanggulangan Kejahatan Telematika, OP Cit., Hal 10.
[14] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana. Cetakan ketiga, Edisi revisi, hal 24
[15] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hal. 131
[16] M. Marwah, Kamus Hukum,
Cetakan Pertama, Reality Publhiser, Surabaya, 2009, hal.334
[17] Barda Nawawi Arief, bunga rampai
kebijakan hukum pidana, cetakan ketiga, citra aditya bakti, bandung 2005,
hlm 41
[18] Sundarto, kapita Selekta Hukum Pidana, 1981, hal 118.
[19] Al. wisnubroto, Op Cit., hal 205
[20] Al. Wisnubroto, Op Cit., hal 206
[21] Widodo, Hukum pidana di bidang teknologi dan informasi, cybercrime law, telaa teoritik
dan bedah kasus. Cetakan pertama.
Aswaja pressindo. Yogyakarta 2013 hal 109
[22] Ibid_ hal 111
[23] Widodo, Aspek Hukum Pidana
Kejahatan Mayantara, Op Cit., hal.191
[24] Agus Raharjo, CYBERCRIME,
Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Bertehnologi, cetakan
pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung
2002, hal 244-245
[25] Widodo, Op Cit., Hal, 192
[26] Widodo, Op cit., Hal. 193
[27] im optimistic that the hard work
of us agents, analisyst, and computer scientists: the excellent corpooration and collabrtion we
have private industry and Universities: and the teamwork we are engaged in whit
foreign partners will in the end prove successful.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar