Daftar Blog Bacaan

Senin, 10 Oktober 2016

PENGERTIAN TINDAK PIDANA

1.    Pengertian Tindak Pidana/strafbaar feit 
Istilah tindak pidana dalam hukum pidana Indonesia merupakan terjemahan yang paling umum dari istilah strafbaar feit yang terkadang juga menggunakan istilah delict walaupun di dalam referensi hukum tidak memiliki terjemahan secara resmi. Delict sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu delictum[1]. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia delict diartikan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karna merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.[2] 
Sampai sekarang ini terjemahan strafbaar feit kedalam bahasa Indonesia belum mendapatkan keseragaman. Berbagai macam istilah yang digunakan untuk menerjemahkan strafbaar feit tersebut, seperti di dalam UU Dar. No. 1 1959 mengunakan istilah perbuatan pidana, UU Konstitusi RIS maupun UUDS 1950 menggunakan istilah peristiwa pidana, dan  UU Pemberantasan Subversi, korupsi dan lain-lain menggunakan istilah tindak pidana.[3] Begitu pula pandangan para ahli dalam menerjemahkan strafbaar feit dalam bahasa Indonesia masih sangat beragam.
Selain dari perbedaan pengunaan terjemahan strafbaar feit ke dalam bahasa indonesia, perbedaan juga muncul tentang definisi tindak pidana dari para ahli hukum seperti Simon yang mengatakan bahwa stafbaar feit itu adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab[4].
Senada dengan itu, EY. Kanter dan SR. Sianturi memberikan definisi bahwa perbuatan pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.[5]
Sementara Pompe sendiri memberikan dua macam definisi yaitu bersifat teoritis dan bersifat perundang-undangan.Menurutnya secara teoritis straafbaar feit dapat diartikan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan tata tertib hukum) yang dengan segaja ataupun dengan tidak sengaja, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut harus dilakukan demi terpeliharanya tatahukum dan menyelamatkan kesejahtraan umum. Sedangkan menurut perundang-undangan perbuatan pidana merupakan peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (natalen), pengabaian diartikan berbuat pasif yang biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian dari suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta, yang disebut gedragstype itulah yang sebut uraian delik, misalnya untuk mengetahui inti suatu delik yang diberi gelar pencuri maka harus dibaca pasal tentang pencurian.[6]
Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa stafrbaat feit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut di pidana, dan dilakukan dengan kesalahan[7]. Kata dilakukan dengan kesalahan maksudnya adalah dapat dicelanya pebuatan tindak pidana karna dilihat dari segi masyarakat, sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi masyarakat dapat dicelaka karnanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyrakat padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut dan karnanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan tersebut.[8]
selanjutnya Enshede memberi definisi tindak pidana sebagai een menselinjke gedraging die valt binnen de grenzen van delictsomsxchijiving, wederechtelijk is en ann schuld te witjen (kelakukan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan dapat dicela).[9]
Berbeda dengan Moeljajatno yang memberi definisi tentang tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan diancam dengan sanksi pidana, asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditunjukan pada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang timbul oleh kelakukan seseorang) sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan keadaan tersebut.[10] Lebih lanjut Roeslan Saleh yang merupakan salah satu murid dari Moeljatno menggunakan kata perbuatan pidana dengan mengartikan perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum,[11]  Beliau juga menyatakan bahwa syarat utama dari adanya perbuatan pidana yaitu adanya aturan yang melarang. Hal ini senada dengan Eddy O.S Hiariej yang menyatakan bahwa dasar dari perbuatan pidana adalah asas legalitas, Artinya suatu perbuatan barulah dapat dikatakan perbuatan pidana apabila telah di tetapkan oleh undang-undang terlebih dahulu.
Beberapa ahli hukum pidana belanda juga mendefinisikan perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana, antara lain Vos dan Hazewinkel Suriga. Vos memberikan definisi staafbar feit atau perbuatan pidana adalah kelakukan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undanagan di berikan pidana.[12] Vos tidak menyinggung tentang kesalahan atau pertanggungjawaban pidana yang merupakan salah satu syarat dipidananya sesorang. Kemudian Hazewinkel Suriga memberi definisi perbuatan pidana merupakan sebuah istilah, setelah dipertimbangkan dan direnungkan sedalam dalamnya, maka pada ahirnya dipilih untuk setiap tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dan diancam pidana,[13] tingkah laku atau perbuatan yang dimaksud merupakan perbuatan yang aktif yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana dan perbuatan yang pasif yaitu perbuatan yang diharuskan atau diperintahkan oleh peraturan pidana
Jika melihat pandangan para ahli diatas, pengertian perbuatan pidana dapat di klasifikasikan menjadi dua, yaitu pengertian perbuatan pidana yang mencampuradukan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawabannya atau yang dikenal dengan ajaran monistis  seperti yang dilakukan oleh Simon, EY. Kanter dan SR. Sianturi, Pompe, Enshede dan Van Hammel, sedangkan Moeljatno, Roeslan Saleh, Vos dan Hazewinkel Suriga memisahkan definisi antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana atau yang dikenal dengan teori dualistis.
Sementara itu penulis lebih cendrung mengikuti pendapat Moeljatno dan Roeslan Saleh dimana perbuatan pidana dan pertanggungjawababan pidana dikualifikasi mejadi subuah kajian yang berbeda. begitu juga pada penulisan ini, penulis bembagi pembahasan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, walaupun kedua pembahasan tersebut sangat erat kaitannya karna tidak akan ada pertanggungjawababan pidana tanpa adanya perbuatan pidana.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana, jika perbuatan tersebut melawan hukum yang berlaku, dan dilakukan secara sengaja atau melawan hukum. Jika unsur melawan hukum dan unsur kesalahan tersebut telah dipenuhi, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan pidana, dan pelaku tersebut dapat dikenai sanksi pidana. Kedudukan korban dalam kejahatan, menurut hukum positif tidaklah mutlak, dalam artian korban bukanlah unsur terpenuhinya rumusan suatu kejahatan atau tindak pidana. 
Teori dulistis sesungguhnya untuk mempermudah penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dalam hal pembuktian. Di depan sidang pengadilan, biasanya pembuktian dimulai dengan adanya perbuatan pidana, baru kemudian apakah perbuatan pidana yang telah dilakukan dapat atau tidak untuk dimintakan pertanggungjawaban terhadap terdakwa yang sedang di adili.





[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Edisi Revisi,(Jakarta; Renika Cipta, 2010, hlm, 94
[2] Ledeng Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Cetakan Pertama, (Jakarta; Sinar Grafika, 2005, hlm 7
[3] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana,(Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1978, hlm,121
[4] Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Cetakan Kedua. (Jakarta: Kencana Prenada Media.  Juli 2006. hlm 25-26.
[5] Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Cetakan Pertama, PT Refika Aditama, 2011, hlm 99
[6] M.R H.A. Zainal Abidin Farid_Op cit. 226
[7] I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum  pidana, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: Fiakahati Aneska, 2010, hlm 35.
[8] Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Cetakapan Pertama. (Jakarta Timur:  Sinar Grafika, 2011, hlm 157.
[9] Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Cetakan Pertama. (Yogyakarta: Cahaya  Atma Pustaka, 2014, hlm 91.
[10] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kesembilan(Jakarta: Rineka Cipta, 2015, hlm, 59
[11] MR. Roesalan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm, 9
[12] M.R H.A. Zainal Abidin Farid_Op cit. 225
[13] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hal 93
[14] Erdianto Efendi, , Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Cetakan Pertama, PT Refika Aditama, 2011, hlm 107
[15] A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Cetakan Pertama.( Malang:  UMM Press, 2004, hlm 74.
[16] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hal 122.
[17] Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Perkembangan dan Penerapan. ( Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hlm 21
[18] Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2. ( Jakarta: Cetakan pertama, PT. Pradnya Paramita, 1997, hlm 33.
[19] Erdianto Efendi, Op., Cit., hlm 115
[20] Bambang Poernomo,  Op., Cit., hlm 135
[21] Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Op., Cit,. hlm 24
[22] Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, Op.,Cit., hlm 119-120
[23] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hal 123
[24] I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana, Buku Panduan Mahasiswa, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT. Fikahati Aneska(Anggota IKAPI) 2010, Hlm. 59
[25] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 209-210
[26] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 89
[27]Rudini, Dasar alasan penghapusan pidana di indonesia, di akses melalui https://rudini76ban.wordpress.com/2009/11/02/alasan-penghapus-pidana-menurut-kuhp-indoneisa-dan-kuhp-inggris-suatu-perbandingan-hukum/ Tanggal 20 Agustus 2015.
[28] Eddy O.S. Hiariej.  Log, Cit.,
[29] D. Schaffmeister. et. al,. Op, Cit., hal.55
[30] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 214
[31] D. Schaffmeister, et. al., Op, Cit., hlm 64
[32] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 218.
[33] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 91.
[34] J.M. Van Bammelen. Hukum Pidana 1, Hukum pidana Materil Bagian Umum. (Diterjemahkan oleh Hasan) Cetakan Pertama. Binacpta, 1984, hlm 180.
[35] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 94
[36] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 226.
[37] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 229
[38] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 230
[39] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 232
[40] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 236.
[41] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 237.
[42] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 70.
[43] Jan Ramlink, Op. Cit., hlm 269
[44] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 239

1 komentar: