1.
Pengertian
Tindak Pidana/ strafbaar feit
Istilah tindak pidana dalam hukum pidana Indonesia merupakan terjemahan yang paling umum dari istilah strafbaar
feit yang terkadang juga menggunakan istilah delict walaupun di dalam referensi hukum tidak memiliki terjemahan secara resmi. Delict
sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu delictum[1].
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia delict
diartikan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karna merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.[2]
Sampai sekarang ini terjemahan strafbaar feit kedalam bahasa Indonesia
belum mendapatkan keseragaman. Berbagai macam istilah yang digunakan untuk
menerjemahkan strafbaar feit
tersebut, seperti di dalam UU Dar. No. 1 1959 mengunakan istilah perbuatan
pidana, UU Konstitusi RIS maupun UUDS 1950 menggunakan istilah peristiwa
pidana, dan UU Pemberantasan Subversi,
korupsi dan lain-lain menggunakan istilah tindak pidana.[3]
Begitu pula pandangan para ahli dalam menerjemahkan strafbaar feit dalam bahasa Indonesia masih sangat beragam.
Selain dari perbedaan pengunaan
terjemahan strafbaar feit ke dalam
bahasa indonesia, perbedaan juga muncul tentang definisi tindak pidana dari
para ahli hukum seperti Simon yang mengatakan bahwa stafbaar feit itu adalah kelakuan yang diancam dengan pidana,
bersifat melawan hukum dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh
orang yang mampu bertanggung jawab[4].
Senada dengan itu, EY. Kanter dan SR.
Sianturi memberikan definisi bahwa perbuatan pidana adalah suatu tindakan pada
tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam
dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan
dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.[5]
Sementara Pompe sendiri memberikan dua
macam definisi yaitu bersifat teoritis dan bersifat
perundang-undangan.Menurutnya secara teoritis straafbaar feit dapat diartikan
sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan tata tertib hukum) yang dengan segaja
ataupun dengan tidak sengaja, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
tersebut harus dilakukan demi terpeliharanya tatahukum dan menyelamatkan
kesejahtraan umum. Sedangkan menurut perundang-undangan perbuatan pidana merupakan
peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (natalen), pengabaian diartikan berbuat
pasif yang biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian dari
suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta, yang disebut gedragstype itulah yang sebut uraian
delik, misalnya untuk mengetahui inti suatu delik yang diberi gelar pencuri
maka harus dibaca pasal tentang pencurian.[6]
Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa stafrbaat feit itu adalah kelakuan orang
yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut di pidana,
dan dilakukan dengan kesalahan[7].
Kata dilakukan dengan kesalahan maksudnya adalah dapat dicelanya pebuatan
tindak pidana karna dilihat dari segi masyarakat, sebenarnya dia dapat berbuat
lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Orang dapat dikatakan
mempunyai kesalahan jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari
segi masyarakat dapat dicelaka karnanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang
merugikan masyrakat padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut dan
karnanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan tersebut.[8]
selanjutnya
Enshede memberi definisi tindak pidana sebagai een menselinjke gedraging die valt binnen de grenzen van
delictsomsxchijiving, wederechtelijk is en ann schuld te witjen (kelakukan
manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan dapat dicela).[9]
Berbeda
dengan Moeljajatno yang memberi definisi tentang tindak pidana sebagai suatu
perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan diancam dengan sanksi pidana,
asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditunjukan pada perbuatan (suatu
keadaan atau kejadian yang timbul oleh kelakukan seseorang) sedangkan ancaman
pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan keadaan tersebut.[10]
Lebih lanjut Roeslan Saleh yang merupakan salah satu murid dari Moeljatno
menggunakan kata perbuatan pidana dengan mengartikan perbuatan pidana adalah
perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh
hukum,[11] Beliau juga menyatakan bahwa syarat utama
dari adanya perbuatan pidana yaitu adanya aturan yang melarang. Hal ini senada
dengan Eddy O.S Hiariej yang menyatakan bahwa dasar dari perbuatan pidana
adalah asas legalitas, Artinya suatu perbuatan barulah dapat dikatakan
perbuatan pidana apabila telah di tetapkan oleh undang-undang terlebih dahulu.
Beberapa
ahli hukum pidana belanda juga mendefinisikan perbuatan pidana tidak meliputi
pertanggungjawaban pidana, antara lain Vos dan Hazewinkel Suriga. Vos memberikan
definisi staafbar feit atau perbuatan
pidana adalah kelakukan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan
perundang-undanagan di berikan pidana.[12]
Vos tidak menyinggung tentang kesalahan atau pertanggungjawaban pidana yang
merupakan salah satu syarat dipidananya sesorang. Kemudian Hazewinkel Suriga
memberi definisi perbuatan pidana merupakan sebuah istilah, setelah
dipertimbangkan dan direnungkan sedalam dalamnya, maka pada ahirnya dipilih
untuk setiap tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dan diancam pidana,[13]
tingkah laku atau perbuatan yang dimaksud merupakan perbuatan yang aktif yaitu
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana dan perbuatan yang pasif yaitu
perbuatan yang diharuskan atau diperintahkan oleh peraturan pidana
Jika
melihat pandangan para ahli diatas, pengertian perbuatan pidana dapat di
klasifikasikan menjadi dua, yaitu pengertian perbuatan pidana yang
mencampuradukan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawabannya atau yang
dikenal dengan ajaran monistis seperti
yang dilakukan oleh Simon, EY. Kanter dan SR. Sianturi, Pompe, Enshede dan Van
Hammel, sedangkan Moeljatno, Roeslan Saleh, Vos dan Hazewinkel Suriga
memisahkan definisi antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana atau
yang dikenal dengan teori dualistis.
Sementara
itu penulis lebih cendrung mengikuti pendapat Moeljatno dan Roeslan Saleh
dimana perbuatan pidana dan pertanggungjawababan pidana dikualifikasi mejadi
subuah kajian yang berbeda. begitu juga pada penulisan ini, penulis bembagi
pembahasan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, walaupun
kedua pembahasan tersebut sangat erat kaitannya karna tidak akan ada
pertanggungjawababan pidana tanpa adanya perbuatan pidana.
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan dikatakan sebagai
tindak pidana, jika perbuatan tersebut melawan hukum yang berlaku, dan
dilakukan secara sengaja atau melawan hukum. Jika unsur melawan hukum dan unsur
kesalahan tersebut telah dipenuhi, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai suatu perbuatan pidana, dan pelaku tersebut dapat dikenai sanksi
pidana. Kedudukan korban dalam kejahatan, menurut hukum positif tidaklah
mutlak, dalam artian korban bukanlah unsur terpenuhinya rumusan suatu kejahatan
atau tindak pidana.
Teori dulistis sesungguhnya untuk
mempermudah penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindak
pidana dalam hal pembuktian. Di depan sidang pengadilan, biasanya pembuktian
dimulai dengan adanya perbuatan pidana, baru kemudian apakah perbuatan pidana
yang telah dilakukan dapat atau tidak untuk dimintakan pertanggungjawaban
terhadap terdakwa yang sedang di adili.
[1] Andi Hamzah, Asas-Asas
Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Edisi Revisi,(Jakarta; Renika Cipta, 2010, hlm,
94
[2] Ledeng Marpaung,
Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Cetakan Pertama, (Jakarta; Sinar Grafika,
2005, hlm 7
[4] Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap Teori
Pemisahan Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Cetakan Kedua.
(Jakarta: Kencana Prenada Media. Juli
2006. hlm 25-26.
[5] Erdianto Efendi, Hukum
Pidana Indonesia, (Bandung: Cetakan Pertama, PT Refika Aditama, 2011, hlm 99
[7] I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum pidana, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta:
Fiakahati Aneska, 2010, hlm 35.
[8] Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Cetakapan
Pertama. (Jakarta Timur: Sinar Grafika,
2011, hlm 157.
[9] Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Cetakan
Pertama. (Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2014, hlm 91.
[10] Moeljatno, Asas-Asas
Hukum Pidana, Cetakan Kesembilan(Jakarta: Rineka Cipta, 2015, hlm, 59
[11] MR. Roesalan Saleh,
Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam
Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm, 9
[12] M.R H.A. Zainal Abidin
Farid_Op cit. 225
[14] Erdianto Efendi, , Hukum
Pidana Indonesia, (Bandung: Cetakan Pertama, PT Refika Aditama, 2011, hlm 107
[15] A. Fuad Usfa dan Tongat,
Pengantar Hukum Pidana, Cetakan
Pertama.( Malang: UMM Press, 2004, hlm
74.
[16] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hal 122.
[17] Hanafi Amrani dan Mahrus
Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Perkembangan dan Penerapan. ( Jakarta:
Rajawali Pers, 2015, hlm 21
[18] Martiman
Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia 2. ( Jakarta: Cetakan pertama, PT. Pradnya Paramita,
1997, hlm 33.
[20] Bambang Poernomo, Op., Cit., hlm 135
[22] Erdianto Efendi, Hukum
Pidana Indonesia, Op.,Cit., hlm 119-120
[24] I Made Widnyana,
Asas-Asas Hukum Pidana, Buku Panduan Mahasiswa, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT.
Fikahati Aneska(Anggota IKAPI) 2010, Hlm. 59
[25] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 209-210
[26] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 89
[27]Rudini, Dasar alasan
penghapusan pidana di indonesia, di akses melalui https://rudini76ban.wordpress.com/2009/11/02/alasan-penghapus-pidana-menurut-kuhp-indoneisa-dan-kuhp-inggris-suatu-perbandingan-hukum/ Tanggal 20 Agustus 2015.
[28] Eddy O.S. Hiariej. Log,
Cit.,
[29] D. Schaffmeister. et.
al,. Op, Cit., hal.55
[31] D. Schaffmeister, et.
al., Op, Cit., hlm 64
[32] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 218.
[33] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 91.
[34] J.M. Van Bammelen. Hukum Pidana 1, Hukum pidana Materil Bagian
Umum. (Diterjemahkan oleh Hasan) Cetakan Pertama. Binacpta, 1984, hlm 180.
[35] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 94
[37] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 229
[39] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 232
[40] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 236.
[41] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 237.
[42] A. Fuad Usfa dan Tongat. Op, Cit., hlm 70.
[44] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hlm 239
hahaha.. its my thesis
BalasHapus