Daftar Blog Bacaan

Sabtu, 29 Oktober 2016

DESA


Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat, dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat, dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakan wujud bangsa yang paling kongkrit.
Beberapa pengartian tentang desa antara lain menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo yang menyatakan bahwa desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Pendapat lain dari Hazairin  bahwa desa di Jawa dan Madura, nagari di Minangkabau sebagai masyarakat hukum adat, dan yang beliau maksudkan dengan masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya (Moh. Kosnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 285-286).   
Pengartian desa secara yuridis formil berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya yaitu mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka (12) yaitu:
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Dengan demikian, desa harus dipahami sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak dan kekuasaan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya untuk mencapai kesejahteraan. Hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya inilah yang disebut otonomi desa (HAW. Widjaja, 2004: 165).
Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, dan harta benda, serta dapat dituntut dan menuntut dimuka pengadilan (HAW. Widjaja, 2004: 165).
Sebagai wujud demokrasi, di desa dibentuk Badan Perwakilan Desa yang berfungsi sebagai lembaga legislatif dan pengawas terhadap pelaksanaan peraturan desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, serta keputusan kepala desa. Untuk itu, kepala desa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan dengan pihak lain, menetapkan sumber-sumber pendapatan desa, menerima sumbangan dari pihak ketiga, dan melakukan pinjaman desa. Kemudian berdasarkan hak atas asal-usul desa bersangkutan, kepala desa dapat mendamaikan perkara atau sengketa yang terjadi diantara warganya (HAW. Widjaja, 2004: 165).
Dengan demikian, desa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan transisi dari desa seragam yang diciptakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dan sekaligus memberi landasan yang kuat bagi terwujudnya “Development Community” dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah akan tetapi justru sebaliknya desa merupakan “Independent Community” yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri (HAW. Widjaja, 2004: 166).
Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggung jawab, dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewajiban, dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa, jangan dilakukan secara sewenang-wenang sehingga desa merasa seakan lepas dari ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak mempunyai hubungan dengan kecamatan, kabupaten/kota, propinsi, atau pun dengan pemerintah pusat, bertindak semau sendiri dan membuat peraturan desa tanpa memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya (HAW. Widjaja, 2004: 166).
Pelaksanaan hak, wewenang, dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggung jawab untuk memelihara integritas, persatuan, dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku (HAW. Widjaja, 2004: 166).  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar