Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya
masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini
terbentuk. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat, dan lain sebagainya
telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa
merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat, dan hukumnya
sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan tingkat
keragaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakan wujud bangsa yang paling
kongkrit.
Beberapa pengartian tentang desa antara lain menurut
Soetardjo Kartohadikoesoemo yang menyatakan bahwa desa adalah suatu kesatuan
hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan
pemerintahan sendiri. Pendapat lain dari Hazairin bahwa desa di Jawa dan Madura, nagari di
Minangkabau sebagai masyarakat hukum adat, dan yang beliau maksudkan dengan
masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai
kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan
hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama
atas tanah dan air bagi semua anggotanya (Moh. Kosnardi dan Harmaily Ibrahim,
1988: 285-286).
Pengartian desa secara yuridis formil berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya yaitu mengacu pada Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka (12) yaitu:
“Desa atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia”
Dengan demikian, desa harus dipahami sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki hak dan kekuasaan dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakatnya untuk mencapai kesejahteraan. Hak untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakatnya inilah yang disebut otonomi desa (HAW.
Widjaja, 2004: 165).
Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat, dan utuh
serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah
berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki desa tersebut. Sebagai
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa,
desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata,
memiliki kekayaan, dan harta benda, serta dapat dituntut dan menuntut dimuka
pengadilan (HAW. Widjaja, 2004: 165).
Sebagai wujud demokrasi, di desa dibentuk Badan Perwakilan
Desa yang berfungsi sebagai lembaga legislatif dan pengawas terhadap
pelaksanaan peraturan desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, serta
keputusan kepala desa. Untuk itu, kepala desa dengan persetujuan Badan
Perwakilan Desa mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum dan
mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan dengan pihak lain, menetapkan
sumber-sumber pendapatan desa, menerima sumbangan dari pihak ketiga, dan
melakukan pinjaman desa. Kemudian berdasarkan hak atas asal-usul desa bersangkutan,
kepala desa dapat mendamaikan perkara atau sengketa yang terjadi diantara
warganya (HAW. Widjaja, 2004: 165).
Dengan demikian, desa yang diatur dalam Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan transisi dari desa seragam
yang diciptakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dan sekaligus memberi landasan
yang kuat bagi terwujudnya “Development
Community” dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan
daerah akan tetapi justru sebaliknya desa merupakan “Independent Community” yaitu desa dan masyarakatnya berhak
berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri (HAW. Widjaja, 2004: 166).
Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban,
tiada kewenangan tanpa tanggung jawab, dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh
karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewajiban, dan kebebasan dalam
penyelenggaraan otonomi desa, jangan dilakukan secara sewenang-wenang sehingga
desa merasa seakan lepas dari ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak
mempunyai hubungan dengan kecamatan, kabupaten/kota, propinsi, atau pun dengan pemerintah
pusat, bertindak semau sendiri dan membuat peraturan desa tanpa memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya (HAW. Widjaja,
2004: 166).
Pelaksanaan hak, wewenang, dan kebebasan otonomi desa
menuntut tanggung jawab untuk memelihara integritas, persatuan, dan kesatuan
bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggung jawab untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan
yang berlaku (HAW. Widjaja, 2004: 166).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar