Pengertian
Pertanggungjawaban Pidana dan Kesalahan.

Dalam
bahasa latin, ajaran tentang kesalahan dikenal dengan istilah mens rea yaitu suatu perbuatan tidak
mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat, atau
dalam bahasa Inggris an act does make a
person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Doktrin tersebut
dilandaskan pada maxim actus nonfacit
reum nisi mens sit rea,[1]
Mens rea merupakan unsur pembuat delik
yaitu sikap batin atau keadaan psikis pembuat. Untuk menentukan apakah orang
yang melakukan perbuatan pidana akan dijatuhi pidana sesuai dengan pidana yang
diancamkan akan sangat tergantung pada
persoalan apakah dalam melakukan tindak pidana tersebut orang tersebut
mempunyai kesalahan, oleh karna adanya asas culpabilitas dalam hukum pidana
yang secara tegas menyatakan tiada pidana tanpa kesalahan.[2]
Salah
satu pakar hukum pidana yang memberikan perngertian tentang pertanggungjawaban
pidana adalah Simon. Menurutnya dasar
adanya tanggungjawab dalam hukum pidana adalah keadaan psikis tertentu pada
orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan
tersebut dengan perbuatan yang diakukan yang sedemikian rupa sehingga orang itu
dapat dicela karna melakukan perbuatan tadi.[3]
Selanjutnya Roeslan
Saleh yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai
diteruskannya celaan yang objektif yang
ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapat
dipidana karna perbuatannya itu.[4]
Celaan objektif merupakan perbutan yang dilakukan oleh seseorang yang
merupakan perbuatan yang
dilarang, indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan hukum, baik melawan
hukum materil maupun melawan hukum formil. Sedangkan celaan secara subjektif
menunjuk kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, sekalipun
perbuatan yang dilarang dilakukan oleh seseorang, namun
jka orang tersebut tidak dapat dicela karna pada dirinya tidak terdapat kesalahan,
mak pertanggungjawaban pidana tidak mungkin ada.
Van Hamel tidak memberikan definisi
pertanggungjawaban pidana, melainkan memberikan pengertian pertanggungjawaban
secara lengkap beliau menyatakan “Pertanggungjawaban adalah suatu keadaan
normal psikis dan kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan yaitu:1) mampu
untuk dapat mengerti makna serta akibat sunggunh-sungguh dari perbuatan
sendiri, 2) mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu bertentangan dengan
ketertiban masyarakat, 3) mampu untuk menentukan kehendak berbuat.[5]
Sementara itu
Moeljatno menyatakan dalam unsur pertanggungjawaban pidana unsur utamanya
adalah kesalahan, pengertian itulah yang dinamakan pertanggungjawaban dalam
hukum pidana, yang dalam bahasa Belanda strafrectterijck teorekening atau dalam
bahasa ingris di sebut criminal
responsibility.[6]
Hal tersebut merupakan pengertian tersendiri dan terlepas dari pengrtian
perbuatan pidana, kalau dalam perbuatan pidana, yang menjadi pusat adalah
perbuatannya sedangkan di dalam pertanggungjawaban pidana yang menjadi pusat
adalah orangnya yang melakukan perbuatan.
Sebagaimana telah
penulis kemukakan di awal bahwa pertanggungjawaban pidana merupakan konsep
sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan, karna pertanggungjawaban
seseorang tidak mungkin tercipta jika pada diri orang yang melakukan perbutan
pidana tidak terdapat kesalahan. jadi untuk mertanggungkan jawab terhadap
seorang, maka orang tersebut harus mempunyai kesalahan.
Istilah kesalahan
sendiri berasal dari kata schuld yang
sampai sekarang ini belum resmi diakui sebagai istilah ilmiah yang memiliki
pengertian pasti, naman sudah sering dipergunakan di dalam penulisan-penulisan.
pengertian tetang kesalahan sendiri masih beragam dari segi pandangan para ahli hukum pidana.
Misalnya Jongkers
yang melakukan pembagian menjadi tiga pengertian kesalahan, yaitu selain
kesengajaan dan kealpaan (opzet of schuld),
juga meliputi sifat melawan hukum (de
wederrechtelijkeheid) serta kemampuan bertanggungjawab (de teorekenbaarheid). [7]
E. Ph. Sutorious
menyatakan dalam ajaran kesalahan, pertama-tama yang harus diperhatikan adalah
mengenai perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan sesuatu yang yang harusnya
tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan.[8]
Selain pengertian
tersebut, didalam buku Sudarto, Hukum dan
Perkembangan Masyarakat, setidaknya empat pandangan tentang apa yang
dimaksud dengan kesalahan itu antara lain:
1.
Mezger:
Kesalahan adalah keseluruhan yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi
terhadap si pembuat pidana.
2.
Simons:
Kesalahan adalah pengertian yang social ethisch. Sebagai dasar untuk
pertangungan jawab dalam hukum pidana, ia berupa keadaan phychisch dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dan
dalam arti bahwa berdasarkan/keadaan (jiwa) itu perbuatannya dicelakan kepada
si pembuat.
3.
Van
Hammel: kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis,
berhubungan antara keadaan jiwa si pembuat atau terwujudnya unsur-unsur delik
karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertangungan jawab dalam hukum.
4.
Pompe:
Kesalahan adalah segi dalam yaitu yang bertalian dengan kehendak si pembuat.
Kesalahan ini dapat dilihat dari dua sudut: Menurut akibatnya ia adalah ia
adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtebaarheid)
dan menurut hakikatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya(vermijdbaarheid) embuat yang melawan hukum.[9]
Kemudian Remelink
yang memberikan definisi kesalahan secara jelas, dia mengatakan kesalahan
merupakan pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang menerapkan stadar etis
yang berlaku pada waktu tertntu terhadap manusia yang melakukan prilaku
menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari.[10]
Berdasarkan
definisi yang di berikan oleh beberaa pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengertian kesalahan dapat dibagi menjadi dua pengertian. Yang pertama yaitu
kesalahan dalam pengertian psikologis, yaitu hubungan batin antara pelaku dan
perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan tersebut di kehendaki oleh pelaku,
maka pelaku dapat dikatak melakukn perbuatan dengan sengaja, sedangkan jika
pelaku tidak menghendaki perbuatan tersebut, maka pelaku dapat dikatakan
melakukan perbuatan karna kealpaan. Kedua yaitu kesalahan dalam pengertian
normatif, yaitu perbuatan yang dinilai dari luar dengan menggunakan
ukuran-ukuran yang bersifat normatif untuk kemudian menentukan apakah perbuatan
tersebut dapat dicelakan kepada pelaku dan apakah perbuatan tersebut dapat
dihindari atau tidak oleh pelaku.
Seseorang dapat
dikatan mempunyai kesalahan, jika pada waktu dia melakukan tiindak pidana,
dilihat dari segi masarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan
perbuatan yang merugikan masyakat padahal mampu untuk mengetahui makna
perbuatan tersebut dan karenannya dapat bahkan harus menghindari perbuatan
tersebut.
[1] Erdianto Efendi, , Hukum
Pidana Indonesia, (Bandung: Cetakan Pertama, PT Refika Aditama, 2011, hlm 107
[2] A. Fuad Usfa dan Tongat,
Pengantar Hukum Pidana, Cetakan
Pertama.( Malang: UMM Press, 2004, hlm
74.
[3] Eddy O.S. Hiariej. Op, Cit., hal 122.
[4] Hanafi Amrani dan Mahrus
Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Perkembangan dan Penerapan. ( Jakarta:
Rajawali Pers, 2015, hlm 21
[5] Martiman
Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia 2. ( Jakarta: Cetakan pertama, PT. Pradnya Paramita,
1997, hlm 33.
[7] Bambang Poernomo, Op., Cit., hlm 135
[9] Erdianto Efendi, Hukum
Pidana Indonesia, Op.,Cit., hlm 119-120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar