Daftar Blog Bacaan

Sabtu, 29 Oktober 2016

PENGERTIAN Otonomi Daerah

Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, menurut konstitusi Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa Daerah Indonesia akan di bagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Provinsi tersebut akan di bagi lagi dalam daerah yang lebih kecil di daerah – daerah yang bersifat otonom dan diadakan badan – badan perwakilan untuk mengatur dan mengurus pemerintahan serta kepentingan masyarakat setempat.
Sistem Pemeintahan Daerah di Indonesia, menurut Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berdasarkan Pasal 18 menyatakan bahwa :
a.       Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas daerah – daerah provinsi dan daerahprovinsi di bagi atas Kabupaten dan Kota yang tiap – tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan yang di atur dengan undang – undang.
b.      Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
c.       Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota – anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
d.      Gubernur, Bupati, dan Walikota masing – masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis
e.       Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi yang seluas – luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang – undang di tentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
f.       Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peaturan Daerah dan peraturan – peraturan lainnya  untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Otonomi atau Autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and it’s actual independence. Jadi ada 2 ciri hakikat dari otonomi yakni legal self sufficiency dan actual independence. Dalam kaitannya dengan politik atau pemerintahan dan otonomi daerah berarti self government atau the condition of living under one’s own laws. Karena itu, otonomi lebih menitik beratkan pada aspirasi daripada kondisi. Koesoemahatmadja,  (S. H, Sarundajang, 1999 : 33 ) berpendapat bahwa :
”Menurut perkembangan sejarah di Indonesia otonomi selain mengandung arti perundangan ( regeling ), juga mengandung arti pemerintahan ( bestuar )”.

Dalam literatur Belanda, Otonomi berarti ” Pemerintahan sendiri ”      (zelfregering ) yang oleh Van Vollenhaven ( S. H, Sarundajang 1999: 33 ) di bagi atas Zelfwetgering ( membuat Undang – Undang sendiri ), Zelfitvoering ( melaksanakan sendiri ), Zelfrechtspraak ( mengadili sendiri) dan Zelfpolitie ( menindaki sendiri ).
Pengertian istilah otonomi dengan pemaknaan yang lebih terbatas dari etimologinya, yaitu kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Namun kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Adapun pengertian otonomi daerah menurut Logemann ( Wajong, 1975 : 5 ) menyatakan bahwa :
Otonomi adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuanagan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri”.

Pengertian dari otonomi daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas – batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ).
Sebagaimana yang di tegaskan dalam pasal 1 ayat ( 5 ) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Hak, wewenang, dan kewajiban Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan per Undang – Undangan”.

Adapun unsur – unsur yang terdapat dalam daerah otonom ( H. Siswanto Sunarno, 2006 ) yaitu :
1.      Unsur Batas Wilayah
Sebagai kesatuan masyarakat hukum, atau untuk menentukan kepastian hukum bagi pemerintah dan masyarakat dalam melakukan interaksi hukum dalam penetapan kewajiban tertentu sebagai warga masyarakat terhadap fungsi pelayanan umum pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan secara luas kepada masyarakat setempat.
2.      Unsur Pemerintahan
Eksistensi pemerintahan di daerah di dasarkan atas legitimasi undang – undang yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan, yang berwenang mengatur berdasarkan kreatifitasnya sendiri.
3.      Unsur Masyarakat
Masyarakat sebagai elemen pemerintahan daerah merupakan kesatuan masyrakat hukum yang jelas mempunyai tradisi, kebiasaan, dan adat – istiadat yang turut mewarnai sistem pemerintahan daerah, mulai dari bentuk cara berpikir, bertindak, dan kebiasaan tertentu dalam kehidupan masyarakat.
Penyelenggaraan otonomi daerah dilakukan oleh lembaga – lembaga pemerintah yaitu Kepala Daerah ( Gubernur, Bupati, dan Walikota ) dan DPRD ( Provinsi, Kabupaten atau Kota ) dan juga birokrasi setempat yang terpisah dari lembaga – lembaga pemerintah dan birokrasi pemerintah.
Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 Ayat 7, 8, dan 9 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, dilaksanakan dengan asas – asas sebagai berikut :
a.       Asas Desentralisasi
Asas Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ).
b.      Asas Dekonsentrasi
Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.



c.       Asas Tugas Pembantuan
      Asas Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah atau desa, dari pemerintah provinsi kepada pemerintah Kabupaten atau Kota dan desa serta dari pemerintah Kabupaten atau Kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, peranan kepala daerah diharapkan mampu memahami perubahan – perubahan yang terjadi secara tepat dan cepat dalam perspektif nasional maupun internasional. Keberhasilan untuk menyesuaikan perubahan akan sangat ditentukan oleh Kepala Daerah ( Gubernur, Bupati, dan Walikota ) sejauh mana dapat mengembangkan visi dan misi organisasi.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat , memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Sejalan dengan hal tersebut maka diperlukan figur Kepala Daerah yang mampu mengembangkan inovasi, berwawasan ke depan dan siap melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Sesuai dengan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kebijakan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah, di samping prinsip – prinsip demokrasi, dan peran serta masyarakat.


PERNGERTIAN, JENIS, BENTUK DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

1.      Pengertian Putusan Hakim
putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan pertama yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau Keputusan adalah suatu produk yang mewujudkan kehendak dari pejabat yang berwenang berdasarkan ketentuan perundang – undangan. Keputusan biasanya berisi suatu ketetapan ( Beschikking ) . Tetapi ada juga keputusan yang berisi peraturan ( Regeling ).
Keputusan yang berisi penetapan hanya berlaku sekali ( Eenmalig ) yaitu, untuk menyelesaikan sesuatu persoalan yang konkret. Setelah selesainya perbedaan yang menjadi nobjek keputusan itu maka dengan sendirinya keputusan itu tidak berlaku lagi. Misalnya keputusan yang menetapkan atau merubah status sesuatu lembaga atau instansi ataupun yang berisi pengangkatan pejabat atau pegawai ataupun mengadopsi anak.
Putusan hakim adalah bebas atas pelepasan dari segala tuntutan hakim dibuat dalam bentuk tertulis denga tujuan menyelesaikan perkara ( Lilik Mulyadi, 2007 : 121 ).
Menurut JR. Spencer, putusan hakim melalui peradilan anatara lain: Sama dengan putusan Tuhan dan sedemikian rupa kedudukan istimewa yang dimiliki peradilan dan hakim,sehingga putusan yang dijatuhkannya melalui badan peradilan adalah judicium de atau divinium  judicium atau disebut ” that judgment was that of god ”.
Apabila putusan yang dijatuhkan hakim melalu peradilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( gezag van gewijsde, res judicata ), putusan itu tidak dapat diganggu gugat lagi. Siapa pun tidak ada yang dapat mengubahnya. Putusan itu mesti dilaksanakan walaupun hal itu kejam dan tidak menyenangkan. 
Menurut Pasal 1 angka 11 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana ” Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta cara yang diatur dalam Undang – Undang ini ”.
Menurut Pasal 182 ayat ( 2 ) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana ” Jika acara tersebut pada ayat ( 1 ) telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan tertutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum dengan memberikan alasannya ”.
2.      Jenis – Jenis Putusan
Jenis- jenis putusan dalam pengadilan oleh hakim antara lain :
a)      Putusan Sela adalah Putusan yang bukan menyangkut pokok atau materi perkara. Unsur – unsur putusan sela yaitu:
-       Putusan tidak berwenang mengadili.
-       Putusan dakwaan batal demi hukum.
-       Putusan dakwaan tidak dapat diterima.
b)      Putusan Akhir adalah Putusan yang menyangkut pokok atau materi perkara. Bersifat mengakhiri perkara ( final ). Unsur – unsur putusan akhir yaitu :
-       Putusan bebas ( vrijspraak ) adalah dakwaan tidak terbukti karena salah satu atau semua unsur delik yang di dakwakan tidak terpenuhi.
-       Putusan lepas dari segala tuntutan hukum ( onslag van alle rechts vervolsing ) adalah perbuatan yang di dakwakan terbukti , tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana atau karena adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf sebagai alasan pengecualian pidana.
-       Putusan Pemidanaan ( verordering ) adalah perbuatan yang di dakwakan terbukti secara sah dan menyakinkan dan tidak ada alasan pembenar atau pemaaf.
3.      Bentuk dan Isi Putusan
Menurut Pasal 197 KUHAP, Isi surat pemidanaan memuat :
c)      Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : ” Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.
d)     Nama lengkap, tempat lahir, umur, atau tanggal lahir,jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.
e)      Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
f)       Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
g)      Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
h)      Pasal peraturan per Undang – undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan per Undang – undangan yang menjadi dasar putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
i)        Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.
j)        Penyataan kesalahan terdakwa, pernyataan terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
k)      Ketentuan kepada siapa biaya perkara di bebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
l)        Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letak kepalsuan itu, jika terdapat surat  otentik dianggap palsu.
Menurut pasal 199 ayat ( 1 ) KUHAP Isi putusan pengadilan yang bukan pemidanaan memuat :
a.       Ketentuan sebagaimana surat keputusan pemidanaan, kecuali yang terdapat pada pasal 197 KUHAP poin 5,6, dan 8.
b.      Pernyataan bahwa terdakwa di putus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dengan menyebutkan pasal peraturan per Undang – undangan yang menjadi dasar putusan.
c.       Perintah supaya terdakwa segera di bebaskan jika ditahan.

4.      Pelaksanaan Putusan ( Eksekusi )
Yang sudah dapat di eksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde ).
Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum adalah :
1.      Bila terdakwa maupun penuntut umum telah menerima atau menyetujui putusan yang dijatuhkan.
2.      Bila tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum telah lewat tanpa di pergunakan oleh yang berhak.
3.      Bila permohonan banding telah diajukan tapi permohonan dicabut kembali.
4.      Bila ada permohonan grasi yang diajukan disertai permohonan penagguhan eksekusi.


RUANG LINGKUP, ASAS DAN TUJUAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH


 1.      Ruang Lingkup Pemilihan Kepala Daerah

Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan menurut Asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Daerah Indonesia terdiri dari daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang – Undang. Dalam asas Desentralisasi berarti Pemerintahan Pusat dalam beberapa hal tertentu menyerahkan kekuasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri Menurut Sarjito ( Sarung Dajang, 1999 :45 ) terhadap hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia secara harfiah pengertian desentralisasi adalah :
” Sebagai kewenangan pusat yang dilimpahkan pihak lain untuk dilaksanakan. Pelimpahan Pemerintahan kepada pihak lain untuk dilaksanakan disebut desentralisasi”.
                       
Sedangkan Pasal 1 Ayat (7) menurut Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan pengertian sebagai berikut :
” Desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur urusan Pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.   
 
Melalui pelaksanaan Otonomi Daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ( Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota ) juga mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar daerah untuk menjaga keutuhan kesatuan Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan figur Kepala Daerah yang mampu menyesuaikan, memahami, dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang – Undang Dasar 1945 menentukan :
Gubernur, Bupati, Walikota masing – masing sebagai kepala daerah Pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”.
     
Maksud dipilih secara demokratis dalam pasal 18 ayat (4) Undang – Undang Dasar 1945 pembuat undang – undang telah memilih cara Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Sebagai konsekuensinya asas – asas dan lembaga penyelenggara Pemilihan Umum (PEMILU) harus tercermin dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang demokratis ( kedaulatan rakyat ), transparan, dan bertanggung jawab. Selain itu pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan dalam demokratisasi lokal yakni tidak sekedar distribusi kekuasaan antar tingkat pemerintahan secara vertikal.
Kenyataan itu dapat dipahami sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka (1) dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu :
”Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah selanjutnya disebut Pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi atau Kabupaten atau kota berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”.

2.      Asas Pemilihan Kepala Daerah

Pemilihan umum (PEMILU) yang dilaksanakan secara periodik dimaksudkan agar dapat memilih dan mengganti anggota – anggota Dewan Perwakilan Rakyat secara Proporsional berdasarkan asas pemilu berdasarkan Undang – Undang Nomor 15 Tahun 1969, Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1975, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1985 yaitu :
a.       Asas Langsung berarti setiap pemilih secara langsung memberikan suaranya tanpa perantara dan tingkatan.
b.      Asas umum berarti pemilihan itu berlaku menyeluruh bagi semua warga Indonesia yang memenuhi persyaratan tanpa diskriminasi.
c.       Asas bebas berarti warga berhak memilih dapat menggunakan haknya, dijamin keamanannya, melakukan pemilihan menurut gati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan, dan paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
d.      Asas Rahasia berarti setiap pemilihan dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dengan cara apapun.
Dalam Pemilu era Reformasi  (1999) menurut Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1999 bahwa selain asas langsung, umum, bebas ,dan rahasia (LUBER) juga ditambah dengan adanya asas jujur, dan adil (JURDIL) yaitu :
a.       Jujur, dalam penyelenggaraan pemilihan umum, penyelenggara atau pelaksana, pemerintah, partai politik, peserta pemilu, pengawas, dan pemantau termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
b.      Adil, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan dari pihak manapun.
Sebagaimana juga disebutkan dalam pasal 22 E ayat (1) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatakan bahwa :            ”Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
Dengan kata lain dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat merupakan suatu proses politik Bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, transparan dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, untuk menjamin pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakilnya yang berkualitas dan memenuhi derajat kompetisi maka harus mampu mengakomodasi asas pemilihan umum.
Asas Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara eksplisit tidak dirumuskan dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana asas Pemilihan Umum tetapi terdapat Pasal 56 ayat (1) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa :
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.

Sebagaimana tercantum dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa ternyata dalam menjabarkan maksud dipilih secara demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pembuat Undang – Undang telah memilih cara Pemilihan Kepala Daerah secara langsung maka sebagai konsekuensinya
3.      Tujuan Pemilihan Kepala Daerah

Dalam implementasi ketentuan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dalam pemilihan Kepala Daerah haruslah menjunjung nilai – nilai demokratis sebagaimana yang tercantum dalam pasal 18 ayat (4) Undang – Undang Dasar Tahun1945 yang menyebutkan bahwa :
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing – masing sebagai Kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”.

Rumusan pasal tersebut mengatakan bahwa sistem pemilihan yang akan ditetapkan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, dimana masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan ( pemilihan dilakukan oleh DPRD ) atau melalui sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat. Tujuannya adalah agar ada fleksibilitas bagi masyarakat dalam menentukan sistem pemilihan kepala daerah. Hal itu terkait erat dengan penghargaan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat yang berbeda – beda. Dalam hal pemilihan Gubernur baik sistem pemilihan secara langsung maupun sistem pemilihan tidak langsung sama – sama masuk dalam kategori sistem demokratis. Berdasarkan dari dua pandangan itulah maka kemudian disepakati menggunakan kata demokratis dalam artian karena angka 7 pada Pasal 18 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, susunan dan penyelenggara pemerintahan daerah diatur dalam undang – undang. Dan Undang – Undanglah yang menentukan apakah pemilihan kepala daerah dilakukan langsung oleh rakyat atau sebagaimana sebelumnya dilakukan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ).
Berdasarkan ketentuan di atas ternyata Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah baik dalam pasal 76 maupun konsideran penjelasannya menyebutkan makna ” dipilih secara demokratis ” berarti dipilih secara langsung oleh rakyat.
Secara umum Pemilu memiliki tujuan antara lain :
1.      Melaksanakan kedaulatan rakyat.
2.      Sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat.
3.      Untuk memilih wakil – wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat.
4.      Melaksanakan penggantian personel pemerintah secar damai, aman, tertib ( secara konstitusional ).
5.      Menjamin kesinambungan pembangunan nasional.


Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa

Tugas dan wewenang pemerintah daerah yang dalam hal ini adalah kepala daerah menurut pasal 25 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berbunyi:
“Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang:
a.       Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD
b.      Mengajukan rancangan Perda
c.       Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD
d.      Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama
e.       Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah
f.       Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan
g.      Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Selain kepala daerah juga dibantu satu orang wakil kepala daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai berikut:
“Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
a.       membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah
b.      membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup
c.       memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah propinsi
d.      memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota
e.       memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah
f.       melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah
g.      melaksanankan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan
Sedangkan tugas dan wewenang pemerintah desa yang dalam hal ini adalah kepala desa terdapat dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang berbunyi:
(1)   Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.
(2)   Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala desa mempunyai wewenang:
a.       Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPD
b.      Mengajukan rancangan peraturan desa
c.       Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD
d.      Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD
e.       Membina kehidupan masyarakat desa
f.       Membina perekonomian desa
g.      Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif

h.      Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

DESA


Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat, dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat, dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakan wujud bangsa yang paling kongkrit.
Beberapa pengartian tentang desa antara lain menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo yang menyatakan bahwa desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Pendapat lain dari Hazairin  bahwa desa di Jawa dan Madura, nagari di Minangkabau sebagai masyarakat hukum adat, dan yang beliau maksudkan dengan masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya (Moh. Kosnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 285-286).   
Pengartian desa secara yuridis formil berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya yaitu mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka (12) yaitu:
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Dengan demikian, desa harus dipahami sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak dan kekuasaan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya untuk mencapai kesejahteraan. Hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya inilah yang disebut otonomi desa (HAW. Widjaja, 2004: 165).
Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, dan harta benda, serta dapat dituntut dan menuntut dimuka pengadilan (HAW. Widjaja, 2004: 165).
Sebagai wujud demokrasi, di desa dibentuk Badan Perwakilan Desa yang berfungsi sebagai lembaga legislatif dan pengawas terhadap pelaksanaan peraturan desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, serta keputusan kepala desa. Untuk itu, kepala desa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan dengan pihak lain, menetapkan sumber-sumber pendapatan desa, menerima sumbangan dari pihak ketiga, dan melakukan pinjaman desa. Kemudian berdasarkan hak atas asal-usul desa bersangkutan, kepala desa dapat mendamaikan perkara atau sengketa yang terjadi diantara warganya (HAW. Widjaja, 2004: 165).
Dengan demikian, desa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan transisi dari desa seragam yang diciptakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dan sekaligus memberi landasan yang kuat bagi terwujudnya “Development Community” dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah akan tetapi justru sebaliknya desa merupakan “Independent Community” yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri (HAW. Widjaja, 2004: 166).
Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggung jawab, dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewajiban, dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa, jangan dilakukan secara sewenang-wenang sehingga desa merasa seakan lepas dari ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak mempunyai hubungan dengan kecamatan, kabupaten/kota, propinsi, atau pun dengan pemerintah pusat, bertindak semau sendiri dan membuat peraturan desa tanpa memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya (HAW. Widjaja, 2004: 166).
Pelaksanaan hak, wewenang, dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggung jawab untuk memelihara integritas, persatuan, dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku (HAW. Widjaja, 2004: 166).  


PENGERTIAN PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN


Istilah pemerintah menurut Sri Soemantri (Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 63),  berasal dari kata “perintah” yang berarti menyuruh melakukan sesuatu. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemerintah adalah kekuasaan memerintah sesuatu negara (daerah negara) atau badan yang tertinggi yang memerintah sesuatu negara seperti kabinet merupakan suatu pemerintah. Berbeda halnya dengan istilah pemerintahan yang diartikan sebagai perbuatan (cara, hal urusan, dan sebagainya) memerintah. Secara etimologis dapat diartikan sebagai “tindakan yang terus menerus atau kebijaksanaan yang dengan menggunakan suatu rencana maupun akal (rasio) dan tata cara tertentu, untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang dikehendaki.
Istilah pemerintahan menurut Inu Kencana Syafiie, adalah suatu ilmu dari seni. Disebut sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, karena memenuhi syarat-syaratnya, yaitu dapat dipelajari dan diajarkan, memiliki objek material maupun formal, sifatnya universal, sistematis serta spesifik (khas). Dikatakan sebagi seni, karena banyak pemimpin pemerintahan yang tanpa pendidikan pemerintahan, mampu berkiat serta dengan kekharismatikan menjalankan roda pemerintahan (Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 63).  
Dalam kata “perintah” tersebut ada dua pihak yang terkandung dan saling memiliki hubungan, yaitu pihak yang memerintah memiliki wewenang dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan. Jika kata “ilmu” dirangkaikan dengan kata “pemerintahan” maka menjadi “ilmu pemerintahan”.  Sementara istilah ilmu pemerintahan menurut sarjana Belanda H.A. Brasz (1975: 1)  yaitu:
“de bestuurs-wetenschap waaronder het verstaat de wetenschap die zich bezighoudt met de wijze waarop de openhare dienst is ingericht en functioneert, intern en naar buiten tegenover de burgers”
(Ilmu pemerintahan adalah sebagai ilmu yang mempelajari tentang cara bagaimana lembaga pemerintahan umum itu disusun dan difungsikan baik kedalam maupun keluar terhadap warganya).

Pengartian dari sarjana Belanda lainnya U. Rosenthal (Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 63-64). menyatakan:
“de bestuurswetenshcap is de wetenschap die zich uitsluitend bezighoudt met de studie van interneen externe werking van de structuren en prosessen”
(Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang menggeluti studi tentang penunjukan cara kerja ke dalam dan ke luar struktur dan proses pemerintahan umum.

Berkenaan dengan ilmu pemerintahan tersebut, kemudian Inu Kencana Syafiie mengatakan bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menyeimbangkan pelaksanaan kepengurusan eksekutif, kepengurusan legislatif, kepemimpinan, dan koordinasi pemerintahan (baik pusat dengan daerah, maupun rakyat dengan pemerintahannya), dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan, secara baik dan benar (Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 64).  
Uraian tersebut menunjukkan bahwa istilah “pemerintah” dan “pemerintahan” ternyata mempunyai arti yang berbeda. Menurut Muhammad Yamin, pemerintah adalah jawatan atau aparatur dalam susunan politik sedangkan pemerintahan adalah tugas kewajiban alat negara. Istilah penguasa dipakai pula berulang-ulang dan berarti pemerintahlah yang berkuasa. The Liang Gie menyatakan bahwa untuk menghindarkan keragu-raguan,  istilah “pemerintah” menunjuk kepada organnya, sedangkan “pemerintahan” menunjuk kepada fungsinya. Terserah mana yang akan dititikberatkan antara “alatnya” atau “tugas wewenangnya”.  (Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 64).
Menurut Ismail Sunny (Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 65), pengartian pemerintahan dipakai dalam arti luas berdasarkan konsep klasik yang dikemukakan oleh Charles Scondat Baron de Labrede et de Montesquieu dalam buku “L’espirit des Lois” (Jiwa Undang-Undang) Tahun 1748. Ajaran ini dikembangkan oleh Immanuel Kant dengan sebutan “Trias Politica” yang membagi kekuasaan Negara (membagi tugas pemerintahan) dalam tiga bidang pokok yang masih berdiri sendiri, lepas dari kekuatan lainnya. Satu kekuasaan yang mempunyai satu fungsi saja, yaitu:
1.      Kekuasaan legislatif, menjalankan fungsi membentuk undang-undang
2.      Kekuasaan eksekutif, menjalankan undang-undang/pemerintahan
3.      Kekuasaan Yudikatif, menjalankan fungsi peradilan.

Sarjana lain yaitu C. Van Vollenhoven (Amrah Muslimin, 1986: 45) menambahkan bagian ke 4 (empat) yaitu kepolisian pada pembagian dari Montesquieu tersebut. Pembagian kekuasaan (pembagian tugas) itu disebut Tri Praja dari Montesquieu dan Catur Praja dari C. Van Vollenhoven. Kata “pemerintahan” dipergunakan dalam arti luas berlandaskan ajaran Tri Praja dari Montesquieu dan ajaran Catur Praja dari Van Vollenhoven, maka otonomi mencakup aktivitas:
1.      Membentuk perundang-undangan sendiri (zelf wetgeving)
2.      Melaksanakan pemerintahan sendiri (zelf uitvoering)
3.      Melakukan peradilan sendiri (zelf rechtspraak)
4.      Melakukan tugas kepolisian sendiri (zelf politie).

Menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar bahwa pemerintahan dalam arti luas ialah mencakup semua alat kelengkapan negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial atau alat-alat kelengkapan negara lain yang juga bertindak untuk dan atas nama negara (Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 66).

PENGERTIAN OTONOMI DAERAH


Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan dasar hukum pembentukan pemerintahan daerah, menghendaki pembagian wilayah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunannya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam pembentukan daerah besar dan kecil tersebut harus tetap memperhatikan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Menurut Soepomo dengan mengutip pendapat The Liang Gie menyatakan bahwa Otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat, adat, dan sifat-sifat sendiri-sendiri dalam kadar negara kesatuan. Setiap daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain. Oleh karena itu, pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model (Rozali Abdullah, 2003: 11).
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan pengartian tentang Otonomi Daerah yang tertuang dalam Pasal 1 angka (5) sebagai berikut:
“hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Sedangkan Daerah Otonom dalam Pasal 1 angka (6) adalah:

“kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Lebih lanjut, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, meletakkan titik berat otonomi pada daerah kabupaten dan daerah kota dengan tujuan untuk lebih mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep Hatta, yang mengemukakan bahwa apabila kita mau mendekatkan demokrasi yang bertanggung jawab kepada rakyat, melaksanakan cita-cita lama yang tertanam dalam pengertian “pemerintah dari yang diperintah”, maka sebaik-baiknyalah titik berat pemerintahan sendiri diletakkan pada Kabupaten (Rozali Abdullah, 2003: 12).  


ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK


Istilah asas berarti dasar, prinsip, pedoman, atau pegangan. Sedangkan yang dimaksud dengan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan adalah dasar-dasar yang perlu diketahui oleh setiap orang dalam pelaksanaan hukum pemerintahan.
Ketentuan Pasal 1 angka (6) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, menyatakan:
Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme”.

Istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik (Amrah Muslimin, 1986: 140), pertama-tama diperkenalkan dalam laporan komisi De Monchy di Negeri Belanda. Dalam laporan itu dipergunakan istilah Algemene Beginselen Van behoorlijke bestuur, yang berkenaan dengan usaha peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah. Asas-asas itu kemudian dipakai oleh Van Der Grinten dalam laporan tentang peradilan administrasi dan peradilan pelanggaran-pelanggaran disiplin dalam organisasi perusahaan (Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 81).
Berdasarkan pernyataan di atas, maka istilah Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik itu (Amrah Muslimin, 1986: 140) merupakan terjemahan dari istilah algemene van behoorlijk bestuur (Bahasa Belanda), dan istilah general principles of administration (Bahasa Inggris). Kemudian Wiarda, memberikan perincian secara tersusun unsur-unsur yang tercantum dalam Jurisprudensi Hakim Administrasi dan Hakim-hakim Peradilan Umum, mengenai Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik itu ada 5 (lima) unsur sebagai berikut:
1.         Asas kejujuran (fair play)
2.         Asas kecermatan (zorgvuldiggheid)
3.         Asas kemurnian dalam tujuan (zuiverheid dan oogmerk)
4.         Asas keseimbangan (evenwichtigheid)
5.         Asas kepastian hukum (rechts zakerheid)
                        (Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 81-82).
Crince le Roy (Solly Lubis, 1992: 136) menyebutkan beberapa asas umum pemerintahan yang baik yaitu:
1.         Asas kepastian hukum (principle of legal security; rechts zakerheidsbeginsel)
2.         Asas keseimbangan (principle of proportionality; evenredigheids beginsel)
3.         Asas kesamaan (principle of equality; gelijkheids beginsel)
4.         Asas Kecermatan (principle of carefulness; zorgvuldigheids beginsel)
5.        Asas motivasi pada setiap keputusan pemerintah (principle of motivation;motiverings beginsel)
6.        Asas tidak menyalahgunakan kewenangan (principle of non misuse of competence; verbod van detournament depouvoir)
7.         Asas permainan yang wajar (principle of fair play; fair play beginsel)
8.         Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness; redelijkgeids beginsel of verbod van willekeur)
9.         Asas menanggapi harapan yang wajar (principle of meeting raised expectation; of gewekte verwachtingen)
10.       Asas peniadaan akibat keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision; herstel beginsel)
11.       Asas perlindungan atas pandangan hidup atau cara hidup pribadi (principle of protecting the personal way of life; herstel beginsel).(Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 82-83).
Dalam pemerintahan Indonesia kita mengenal asas-asas yang telah lama dikenal dan diberlakukan baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam tata pemerintahan.  Menurut SF Marbun dan Moh.Mahfud MD (2004: 59-67), mengklasifikasikan asas-asas umum pemerintahan yang baik kedalam 13 (tiga belas asas), yaitu :
1.      Asas Kepatian Hukum (principle of legal security).
Asas kepastian hukum disebut dalam istilah Legal Of Security. Asas ini merupakan konsekuensi logis dari pada negara hukum, sehingga setiap perbuatan adalah tindakan aparatur pemerintah haruslah selalu didasarkan pada aturan-aturan hukum.
2.      Asas Keseimbangan (principle of proportionality).
            Asas keseimbangan dikaitkan dengan keseimbangan hak dan kewajiban yang pada hakikatnya menghendaki terciptanya keadilan menuju pada kehidupan yang damai.
3.      Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan (principle of equality).
            Asas ini konsisten dengan tuntutan Pasal 27 UUD 1945 yang memberikan kedudukan sama kepada semua warga negara didepan hukum dan pemerintahan.
4.      Asas Bertindak Cermat (principle of carefulnes).
           Asas ini menuntut ketelitian dari aparatur pemerintah didalam setiap kali melakukan sesuatu perbuatan.
5.      Asas Motivasi Untuk Setiap Keputusan (principle of motivation).
            Asas yang memberi dorongan untuk berbuat, bagi perbuatan aparatur pemerintah yang berakibat hukum.
6.      Asas Jangan Mencampur Adukkan Kewenangan (principle of non misuse of competence).
            Asas ini memberi petunjuk agar pejabat pemerintah ataupun badan aparatur pemerintahan tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan wewenangnya.
7.      Asas Permainan Yang Layak (principle of fair play).
            Asas ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat untuk mencari kebenaran dan keadilan sebelum aparatur pemerintah mengambil suatu keputusan.
8.      Asas Keadilan Atau Kewajaran (principle of reasonable or prohibition of arbitrariness). Asas ini menuntut ditegakkan aturan hukum agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
9.      Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar (principle of meeting raised expectation).
Asas ini mendorong aparatur pemerintah dalam pembuatan hukumnya selalu memperhatikan harapan-harapan yang ditimbulkan oleh rakyat atau pihak yang ada dalam hubungan hukum yang tercipta sebagai lapangan hukum tata pemerintahan.
10.  Asas Meniadakan Akibat Suatu Keputusan Yang Batal (principle of undoing the consequences of an annuled decision).       Asas yang menuntun aparatur pemerintah agar didalam perbuatan hukum yang dilakukannya ternyata dibatalkan oleh lembaga peradilan yang berwenang, artinya harus menerima resiko untuk mengembalikan hak-hak dari pihak yang dirugikan oleh perbuatannya dan jika mungkin keharusan adanya membanyar ganti rugi.
11.  Asas Perlindungan Atas Pandangan (cara) Hidup Pribadi (principle of protecting the personal way of life).
            Asas dimana aparatur pemerintah didalam pembuatan hukum yang dilakukannya haruslah melindungi pandangan hidup yang dianut bertentangan dengan pancasila dan aturan perundang-undangan yang berlaku.
12.  Asas Kebijaksanaan (sapientia).
            Asas kebijaksanaan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan tertentu.
13.  Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public service).
            Asas ini menghendaki agar dalam menjalankan tugasnya pemerintah selalu mengutamakan kepentingan umum. Karena negara Indonesia adalah negara hukum yang dinamis, yang menuntut segenap aparat pemerintah dalam melakukan kegiatan menuju pada penyelenggaraan kepentingan umum. 
Asas-asas yang dimaksud di atas, perlu serta harus dikembangkan, maka Solly Lubis sependapat dengan Koentjoro Poerbopranoto untuk menggunakan asas-asas tersebut di atas, sebagai pedoman dan ukuran bagi kita di Indonesia, yang harus disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam dasar filsafat negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta hukum-hukum lainnya yang hidup di masyarakat kita, baik hukum yang tertulis maupun tidak tertulis (Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 83-84).  
Jika sejumlah asas-asas telah dijadikan dasar bagi pembangunan, berarti kehidupan kenegaraan dan kehidupan kemasyarakatan akan berjalan menurut asas-asas itu. Hal ini terkait pula dengan konsep penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999. Pasal 3 dalam undang-undang tersebut menetapkan asas-asas umum penyelenggaraan Negara meliputi (Pemerintah dan Pemerintah Daerah) dan penjelasannya menegaskan:
1)      Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.
2)      Asas tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3)      Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4)      Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara, dan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara .
5)      Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan negara,
6)      Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7)      Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan kegiatan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara.
8)      Asas efisiensi dan efektifitas adalah asas yang menentukan untuk memperoleh efisiensi dilaksanakannya desentralisasi, yaitu pemberian otonomi yang luas supaya lebih efisien (berdaya guna) mengenai waktu dan tenaga. Sedangkan untuk mencapai efektifitas (hasil guna) dilakukan sentralisasi yaitu untuk keperluan ekonomi dan politik. (Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 84-85).  
Perkembangan paradigma baru dari konsep pemerintah yang bersih dan berwibawa (clean government, good government) ke arah konsep mengelolah pemerintahan yang baik (good governance), dapat dilihat adanya suatu kecenderungan global dalam paradigma baru manajemen pembangunan. Dalam hal ini Bintoro Tjokroamidjojo berpendapat bahwa:
“Good governance, adalah suatu sistem dan proses dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang mengindahkan prinsip-prinsip supremasi hukum, kemanusiaan, keadilan, demokrasi, partisipasi, transparansi, profesionalitas, dan akuntabilitas, serta memiliki komitmen tinggi terhadap tegaknya nilai-nilai dan prinsip desentralisasi, daya guna, hasil guna, kepemerintahan yang baik, bertanggung jawab dan berdaya saing”
(Pipin Syarifin dan Jubaedah, 2005: 86).
Melalui pendapat ini tampak adanya tataran yang lebih tinggi untuk menentukan good governance, yaitu pemerintah yang sebenarnya dan yang terpenting adalah sebagai Kepala Pemerintah daripada sebagai Kepala Negara dengan  prinsip utama good governance yaitu akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, aturan hukum, dan adanya perlakuan yang adil.