PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN.
A. Penyelidikan
Penyelidik ialah orang yang melakukan “penyelidikan”.
Menurut KUHAP (Pasal 1 butir 5)
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
Dari penjelasan di atas, “penyelidikan” merupakan
tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat,
penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi
penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman
Pelaksanaan KUHAP (Depkeh. Hlm.27), penyelidikan “merupakan salah satu cara
atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain,
yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas
kepada penuntut umum”. Jadi, sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan
dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan
mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan
tindak lanjut penyidikan.
Yang berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam
Pasal 1 butir 4 KUHAP : Penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 4, yang berwenang melaksanakan
fungsi penyelidikan adalah “setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia”.
Tegasnya : penyelidik adalah setiap pejabat Polri. Jaksa atau pejabat lain
tidak berwenang melakukan penyelidikan.
Pasal 5 KUHAP menegaskan, penyelidik mempunyai
kewenangan sebagaimana tersebut di dalam Pasal 4 KUHAP yaitu :
1.
Karena kewajibannya penyelidik mempunyai kewenangan :
a)
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana;
b)
Mencario keterangan dan barang bukti;
c)
Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
d)
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
2.
Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan
tindakan berupa :
a)
Penangkapan larangan meninggalkan tempat, penggeledahan
dan penyitaan;
b)
Pemeriksaan penyitaan surat;
c)
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
d)
Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
3.
Penyelidik membuat dan menyampaikan hasil pelaksanaan
tindakan sepanjang yang menyangkut tindakan yang disebut pada Pasal 5 ayat (1)
huruf a dan b.
B. Penyidikan
Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar
dengan pengertian opsporing (Belanda)
dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHAP memberi definisi penyidikan sebagai
berikut :
“Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.”
Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut
de Pinto menyidi atau (opsporing)
berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk
oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar
yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum”.
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan
dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi
hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut
penyidikan adalah sebagai berikut :
1.
Ketentuan tentang alat-alat penyidik;
2.
Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik;
3.
Pemeriksaan di tempat kejadian;
4.
Pemanggilan tersangka atau terdakwa;
5.
Penahanan sementara;
6.
Penggeledahan;
7.
Pemeriksaan atau interogasi;
8.
Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan
di tempat);
9.
Penyitaan;
10. Penyampingan
perkara;
11. Pelimpaham
perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk
disempurnakan.
Dalam pasal 6 KUHAP ditentukan 2 (dua) macam badan yang
berwenang melakukan penyidikan, yaitu sebagai berikut :
a. Pejabat polisi negara
Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang.
Dalam ayat (2) ditentukan bahwa syarat kepangkatan
pejabat polisi negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik akan diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah. Kemudian dalam penjelasan itu dikatakan
bahwa kepangkatan yang ditentukan dengan peraturan pemerintah itu, diselaraskan
dengan kepangkatan penuntut umum dan hakim pengadilan umum.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, selanjutnya penulis
singkatkan menjadai PP 1983. Pada pasal 2 telah ditetapkan kepangkatan pejabat
polisi menjadi penyidik yaitu sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi,
sedangkan bagi pegawai negeri sipil yang dibebani wewenang penyidikan ialah
yang berpangkat sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I (Golongan IIb) atau
yang disamakan dengan itu. Suatu pengecualian, jika di suatu tempat tidak ada
pejabat penyidik berpangkat Pembantu Letnan ke atas, maka Komandan Sektor
Kepolisian yang berpangkat Letnan ke atas, maka Komandan Sektor Kepolisian yang
berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah
penyidik.
Penyidik pejabat polisi negara tersebut diangkat oleh
Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Yang dapat melimpahkan wewenang tersebut
kepada pejabat polisi lain. Sedangkan penyidik pegawai negeri sipil diangkat
oleh Menteri Kehakiman atas usul departemen yang membawakan pegawai tersebut. Wewenang
pengangkatan tersebut dapat dilimpahkan pula oleh Menteri Kehakiman. Sebelum
pengangkatan, terlebih dahulu Menteri Kehakiman meminta pertimbangan Jaksa
Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Selanjutnya, Pasal 3 PP 1983 menetukan bahwa penyidik
pembantu adalah Pejabat Polisi Republik Indonesia yang berpangkat Sersan Dua
Polisi dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian
Negara. Kedua macam penyidik pembantu ini diangkat oleh Kepala Kepolisian
Negara atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. Wewenang
pengangkatan ini dapat juga dilimpahkan kepada Pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang lain.
Yang pertama-tama akan diuraikan di sini ialah pejabat
penyidik polisi negara tersebut, karena inilah yang terpenting dan merupakan
penyidik umum. Polisi negara memonopoli penyidikan pidana umum yang tercantum
dalam KUHP.
Yang tersebut pada huruf b (penyidik pegawai negeri
sipil) hanya penyidik delik-delik yang tersebut dalam perundang-undangan pidana
khusus atau perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana (non-penal code offences).
Berdasarkan Pasal 7 KUHAP penyidik mempunyai wewenang
yaitu :
1.
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (1) huruf a
karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a.
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana;
b.
Melakukan tindakan pidana pada saat ditemukan kejadian;
c.
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e.
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
h.
Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.
Mengadakan perhentian penyidikan.
j.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
2.
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (1) huruf b
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya di bawah koordinasi penyidik
tersebut dalam Pasal 6 (1) huruf a. (Waluyadi;1999:42-46)
C. Penuntutan
Penuntutan adalah
perbuatan melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Menurut Pasal 14 butir b KUHAP menyatakan,
Prapenuntutan dilakukan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) KUHAP dengan memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
Penuntut Umum dan Penuntutan dalam UU No 8 Tahun 1981
yaitu :
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
Jadi, kesimpulan bahwa pengertian Jaksa adalah
menyangkut jabatan, sedangkan Penuntut Umum menyangkut fungsi.
Hal Penuntut Umum diatur di bagian ketiga Bab IV
KUHAP. Wewenang Penuntut Umum dalam bagian ini hanya diatur dalam dalam 2 buah
pasal, yaitu Pasal 14 dan Pasal 15. Dalam Pasal 14 diperinci wewenang tersebut
sebagai berikut :
1.
Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
2.
Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk dalam penyempurnaan penyidikan dan penyidik;
3.
Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan,
atau penahanan lanjutan, dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
4.
Membuat surat dakwaan;
5.
Melimpahkan perkara ke pengadilan;
6.
Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
7.
Melakukan penuntutan;
8.
Menutup perkara demi kepentingan hukum;
9.
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan undang-undang ini;
10. Melaksanakan penetapan hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar