Daftar Blog Bacaan

Kamis, 06 April 2017

      PEMERIKSAAN PERSIDANGAN.
Penentuan hari sidang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara (Pasal 152 ayat (1) KUHAP). Dalam hal ini, Hakim tersebut memerintahkan kepada Penuntut Umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan (Pasal 152 ayat (2) KUHAP).
KUHAP mengatur dalam Pasal 145, syarat-syarat tentang sahnya suatu pemanggilan kepada terdakwa sebagai berikut :
1.      Surat panggilan kepada terdakwa disampaikan di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, maka disampaikan ke tempat kediaman terakhir (ayat (1));
2.      Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnay atau di tempat kediaman terakhir, maka surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir (ayat (2));
3.      Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara (ayat (3));
4.      Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan (ayat (4));
5.      Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya (ayat (5)).
Menurut ketentuan Pasal 152 ayat (2) KUHAP tersebut di muka, Penuntut Umum yang menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa Pasal 146 ayat (1) menentukan bentuk surat panggilan yang harus memuat tanggal, hari, serta, jam sidang, dan untuk perkara apa ia dipanggil, yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dimulai. Begitu pula bagi pemanggilan saksi berlaku hal yang sama (Pasal 146 ayat (2)).  
Untuk membedakan acara pemeriksaan perkara di persidangan di pengadilan negeri dapat dilihat dari jenis tidak pidana, yaitu :
1.      Perkara yang diajukan ke sidang pengadilan pembuktiannya sulit atau mudah;
2.      Berat ringannya ancaman pidana atas tindak pidana tersebut;
3.      Jenis perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
Maksud dari perkara yang pembuktiannya sulit oleh jaksa penuntut umum adalah apabila alat bukti yang akan diajukan dimuka sidang pengadilan masih diragukan karena alat bukti tersebut kurang mempunyai kekuatan pembuktian yang dapat menentukan bahwa terdakwa bersalah, maka berkas perkara diajukan dengan acara pemeriksaan biasa.
 Sedangkan yang dimaksud mudah pembuktiannya, yaitu apabila terdakwa memang mengakui telah melakukan tindak pidana, terdapat bukti-bukti serta petunjuk yaitu keterangan saksi-saksi, maka jaksa penuntut  umum menggunakan acara pemeriksaan singkat.
Atas perbedaan kategori dari tiap perkara yang akan diajukan ke sidang pengadilan di atas, maka acara pemeriksaan perkara pidana dapat dibagi atas tiga (3), yaitu :
1.      Acara pemeriksaan biasa;
2.      Acara pemeriksaan singkat;
3.      Acara pemeriksaan cepat, yang terdiri atas acara pemeriksaan perkara tindak pidana ringan dan acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas.

1.      Acara Pemeriksaan Biasa.
Ditinjau dari segi pengaturan dan kepentingan, acara pemeriksaan biasa yang paling utama dan paling luas pengaturannya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam acara pemeriksaan biasa inilah dilakukan pemeriksaan perkara-perkara tindak pidana kejahatan berat, sehingga fokus pengaturan acara pemeriksaan pada umumnya terletak pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal acara pemeriksaan biasa.
Acara pemeriksaan biasa, sebenarnya berlaku dalam acara pemeriksaan singkat dan cepat, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan secara tegas dinyatakan lain.
Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, ketentuan yang terdapat dalam bab XVI adalah bagian ketiga yang mengatur pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dengan acara pemeriksaan biasa. Dalam acara pemeriksaan biasa, proses sidang dilaksanakan dengan tata cara pemeriksaan sebagaimana yang ditentukan undang-undang. Dimulai dari pemeriksaan terdakwa seperti : hakim memeriksa identitas terdakwa oleh hakim yang telah ditunjuk oleh ketua pengadilan pada hari sidang yang telah ditetapkan beserta pemanggilan saksi untuk diminta keterangannya.
Setelah itu, hakim meminta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan dengan menanyakan kepada terdakwa apakah sudah benar-benar mengerti atau tidak.
Surat dakwaan yang tidak dimengerti oleh terdakwa, harus dijelaskan oleh penuntut umum, untuk memberi kesempatan kepada terdakwa dan penasehat hukumnya mempelajari dan mengajukan keberatan atau eksepsi. Menurut  pasal 156 ayat (1) ada tiga jenis keberatan yaitu :
1. Keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang  mengadili perkara karena pengadilan memiliki kompetensi relatif serta kompetensi absolut.
2. Keberatan bahwa surat dakwaan tidak dapat diterima, karena alasan surat dakwaan tersebut tidak dapat diterima yang diedarkan bahwa kewenangan menuntut  dari penuntut umum sudah hapus dan tindak pidana tersebut diajukan ke pengadilan negeri untuk disidangkan.
3. Keberatan bahwa surat dakwaan harus dibatalkan, karena tidak memenuhi syarat formil dan materil. Apabila syarat formil tidak terpenuhi maka dakwaan tersebut  dapat dibatalkan oleh hakim karena mengakibatkan eror in persona. Sedangkan surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat meteril dinyatakan batal demi hukum.
Atas semua keberatan yang diajukan terdakwa dan penasehat hukumnya penuntut umum dapat mengajukan perlawanan dengan memberi alasan bahwa surat dakwaan yang dibuat adalah benar dan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Apabila hakim berpendapat bahwa keberatan tersebut dapat diputuskan setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan dengan proses pembuktian.
Pasal 184 KUHAP mengatur tentang alat bukti yang sah digunakan dalam proses pembuktian di persidangan yaitu :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Penggunaan alat bukti adalah faktor yang menentukan dalam penuntutan, tanpa alat bukti penuntut umum tidak akan dapat menyatakan terdakwa telah melakukan tindak pidana.
Menurut pasal 159 kuhap, kewajiban hakim berikutnya adalah meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir, dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lainnya sebelum memberi keterangan di persidangan.
Selanjutnya hakim menanyakan identitas saksi serta apakah saksi mengenal terdakwa dan ada hubungan keluarga dengannya. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing, namun tidak tertutup kemungkinan sumpah atau janji setelah memberi keterangan.
Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat meminta keterangan ahli dapat pula diajukan meminta diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
Jika pemeriksaan di sidang pengadilan dinyatakan telah selesai oleh hakim pengadilan karena pembuktian yang diajukan oleh penuntut umum, terdakwa atau penasehat  hukumnya di muka pengadilan telah selesai dan hakim ketua telah memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana telah benar-benar terjadi dan terdakwa yang terbukti bersalah, maka penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.
Sesudah itu terdakwa atau penasehat hukum mengajukan pembelaan yang dapat dijawab oleh penuntut umum dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir. Semua dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan (Pasal 182 ayat (1) KUHAP). Hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Pembacaan tuntutan pidana (requisitoir).
b. Pengajuan atau pembacaan nota pembelaan (pledooi).
c. Pengajuan atau pembacaan tanggapan (replik dan duplik).
Sesudah itu, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan hakim karena jabatannya maupun atas pemintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum dengan memberikan alasan (Pasal 182 ayat (2) KUHAP).
Hakim kemudian mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah diadakan setelah terdakwa, saksi, penasehat hukum, penuntut umum serta hadirin meninggalkan ruangan sidang. Musyawarah tersebut dengan mempertimbangkan surat dakwaan, segala sesuatu yang terbukti di persidangan, tuntutan pidana pembelaan dan tanggapan.
Apabila berdasarkan hasil musyawarah majelis hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP, pengadilan negeri berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 KUHAP). Kalau pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Dalam hal majelis hakim berpendapat  bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

2.      Acara Pemeriksaan Singkat.
Pasal 203 ayat (1) KUHAP bahwa :
“Yang diperiksa menurut  acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.”

Pasal 205 KUHAP mengatur acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang ancaman hukumannya pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah rupiah dan penghinaan ringan.
Jadi, patokan yang digunakan adalah perkara yang ancaman hukumannya di atas tiga (3) bulan penjara atau kurungan serta dendanya lebih tujuh ribu lima ratus rupiah, sedang patokan ancaman hukuman maksudnya tidak ditentukan dalam KUHAP.
Biasanya dalam praktek peradilan, hukuman pidana yang dijatuhkan pada terdakwa dalam perkara singkat tidak melampaui tiga (3) tahun penjara. Kalau penuntut umum menilai dan berpendapat pidana yang dijatuhkan pengadilan tidak melampaui tiga (3) tahun penjara dapat menggolongkan perkara itu dalam perkara singkat (M.Yahya Harahap, 2000: 375).
Tata cara pemeriksaan singkat sebagai berikut :
a.       Penuntut umum menghadapkan terdakwa, saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti;
b.      Waktu, tempat dan keadaan melakukan tindak pidana diberitahukan secara lisan, dicatat dalam berita acara sebagai pengganti surat dakwaan;
c.       Dapat diadakan pemeriksaan tambahan paling lama 14 hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa;
d.      Terdakwa atau penasehat hukum dapat meminta untuk penundaan sidang paling lama 7 hari guna kepentingan pemeriksaan;
Putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang, hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut  serta isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan dalam acara biasa.
3.      Acara pemeriksaan Cepat.
Acara pemeriksaan cepat terbagi atas 2 yaitu acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan acara pemeriksaan lalu lintas jalan.
a) Acara pemeriksaan tindak pidana ringan
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan adalah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga (3) bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali Pasal 364 KUHP tentang pencurian ringan, Pasal 374 KUHP tentang penggelapan ringan dan Pasal 379 KUHP tentang penipuan ringan (Pasal 205 ayat 1 KUHAP).
Tata cara pemeriksaan tindak pidana ringan adalah :
1.       Yang menghadapkan terdakwa dalam sidang adalah polisi, bukan jaksa penunutut umum;
2.       Mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat diminta banding;
3.       Pemeriksaan pada hari tertentu dalam tujuh (7) hari;
4.       Saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali jika perlu;
5.       Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara selanjutnya oleh panitera dicatat dalam buku register serta ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan dari panitera.
b) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan ialah perkara pelanggaran tertentu peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan dalam Pasal 211 KUHAP di atas dirinci sebagai berikut :
1.      Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban atau, keamanan lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan;
2.      Mengemudikan kendaraan bermotor dan tidak dapat memperlihatkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Tanda Uji Kendaraan yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkannya tapi masa berlakunya sudah daluwarsa;
3.      Memperkenankan atau membiarkan kendaraan bermotor oleh orang yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM);
4.      Tidak memenuhi peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain;
5.      Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan tanda nomor kendaraan yang bersangkutan;
6.      Pelanggaran terhadap perintah yang telah diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan dan atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada di permukaan jalan;
7.      Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang diizinkan, cara menaikkan dan  menurunkan penumpang dan atau cara memuat dan membongkar jalan;
8.      Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang ditentukan.
Tata cara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan dan terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang.


PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN.
A.    Penyelidikan
Penyelidik ialah orang yang melakukan “penyelidikan”. Menurut  KUHAP (Pasal 1 butir 5) “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Dari penjelasan di atas, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP (Depkeh. Hlm.27), penyelidikan “merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum”. Jadi, sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.
Yang berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal 1 butir 4 KUHAP : Penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 4, yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah “setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia”. Tegasnya : penyelidik adalah setiap pejabat Polri. Jaksa atau pejabat lain tidak berwenang melakukan penyelidikan.     
  Pasal 5 KUHAP menegaskan, penyelidik mempunyai kewenangan sebagaimana tersebut di dalam Pasal 4 KUHAP yaitu :
1.      Karena kewajibannya penyelidik mempunyai kewenangan :
a)      Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b)      Mencario keterangan dan barang bukti;
c)      Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
d)     Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2.      Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa :
a)      Penangkapan larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
b)      Pemeriksaan penyitaan surat;
c)      Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
d)     Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
3.      Penyelidik membuat dan menyampaikan hasil pelaksanaan tindakan sepanjang yang menyangkut tindakan yang disebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b.
B.     Penyidikan
Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHAP memberi definisi penyidikan sebagai berikut :
“Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut de Pinto menyidi atau (opsporing) berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum”.
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut :
1.      Ketentuan tentang alat-alat penyidik;
2.      Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik;
3.      Pemeriksaan di tempat kejadian;
4.      Pemanggilan tersangka atau terdakwa;
5.      Penahanan sementara;
6.      Penggeledahan;
7.      Pemeriksaan atau interogasi;
8.      Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat);
9.      Penyitaan;
10.  Penyampingan perkara;
11.  Pelimpaham perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.
Dalam pasal 6 KUHAP ditentukan 2 (dua) macam badan yang berwenang melakukan penyidikan, yaitu sebagai berikut :
        a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Dalam ayat (2) ditentukan bahwa syarat kepangkatan pejabat polisi negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Kemudian dalam penjelasan itu dikatakan bahwa kepangkatan yang ditentukan dengan peraturan pemerintah itu, diselaraskan dengan kepangkatan penuntut umum dan hakim pengadilan umum.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, selanjutnya penulis singkatkan menjadai PP 1983. Pada pasal 2 telah ditetapkan kepangkatan pejabat polisi menjadi penyidik yaitu sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi, sedangkan bagi pegawai negeri sipil yang dibebani wewenang penyidikan ialah yang berpangkat sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I (Golongan IIb) atau yang disamakan dengan itu. Suatu pengecualian, jika di suatu tempat tidak ada pejabat penyidik berpangkat Pembantu Letnan ke atas, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat Letnan ke atas, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik.
Penyidik pejabat polisi negara tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Yang dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain. Sedangkan penyidik pegawai negeri sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul departemen yang membawakan pegawai tersebut. Wewenang pengangkatan tersebut dapat dilimpahkan pula oleh Menteri Kehakiman. Sebelum pengangkatan, terlebih dahulu Menteri Kehakiman meminta pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Selanjutnya, Pasal 3 PP 1983 menetukan bahwa penyidik pembantu adalah Pejabat Polisi Republik Indonesia yang berpangkat Sersan Dua Polisi dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara. Kedua macam penyidik pembantu ini diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. Wewenang pengangkatan ini dapat juga dilimpahkan kepada Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lain.
Yang pertama-tama akan diuraikan di sini ialah pejabat penyidik polisi negara tersebut, karena inilah yang terpenting dan merupakan penyidik umum. Polisi negara memonopoli penyidikan pidana umum yang tercantum dalam KUHP.
Yang tersebut pada huruf b (penyidik pegawai negeri sipil) hanya penyidik delik-delik yang tersebut dalam perundang-undangan pidana khusus atau perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana (non-penal code offences).
Berdasarkan Pasal 7 KUHAP penyidik mempunyai wewenang yaitu :
1.      Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a.       Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b.      Melakukan tindakan pidana pada saat ditemukan kejadian;
c.       Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.      Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e.       Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.       Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g.      Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h.      Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.        Mengadakan perhentian penyidikan.
j.        Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2.      Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya di bawah koordinasi penyidik tersebut dalam Pasal 6 (1) huruf a. (Waluyadi;1999:42-46)
C.    Penuntutan
Penuntutan adalah perbuatan melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Menurut Pasal 14 butir b KUHAP menyatakan, Prapenuntutan dilakukan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) KUHAP dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
Penuntut Umum dan Penuntutan dalam UU No 8 Tahun 1981 yaitu :
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Jadi, kesimpulan bahwa pengertian Jaksa adalah menyangkut jabatan, sedangkan Penuntut Umum menyangkut fungsi.
Hal Penuntut Umum diatur di bagian ketiga Bab IV KUHAP. Wewenang Penuntut Umum dalam bagian ini hanya diatur dalam dalam 2 buah pasal, yaitu Pasal 14 dan Pasal 15. Dalam Pasal 14 diperinci wewenang tersebut sebagai berikut :
1.      Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
2.      Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam penyempurnaan penyidikan dan penyidik;
3.      Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau penahanan lanjutan, dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
4.      Membuat surat dakwaan;
5.      Melimpahkan perkara ke pengadilan;
6.      Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
7.      Melakukan penuntutan;
8.      Menutup perkara demi kepentingan hukum;
9.      Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan undang-undang ini;
10.   Melaksanakan penetapan hakim.


BENTUK PUTUSAN
A.    Putusan Awal (Sela)
Putusan awal atau putusan sela adalah putusan yang berdasarkan alasan formil, bukan berdasarkan peristiwa pidana yang dilakukan terdakwa.( M. Yahya Harahap, 1993: 487)
Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP yakni :
Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.

Menurut M. Dahlan Saleh (1981: 50), Putusan sela dapat diartikan dari dua segi yaitu,
a.  Dari segi waktu, suatu putusan yang dijatuhkan sebelum dijatuhkan putusan akhir.
b.  Dari segi fungsi serta tujuannya, yaitu suatu putusan yang dijatuhkan hakim untuk mempersiapkan dan memperlancar perkara pidana.

 Adapun bentuk putusan awal  dapat berupa :
1)   Pengadilan Negeri tidak berwenang.
Apabila Pengadilan Negeri berpendapat tidak berwenang mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut umum kepadanya, Pasal 148 KUHAP telah memberi pedoman kepada Pengadilan Negeri untuk menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri yang dianggapnya berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang disertai alasan. Jika,  Jaksa Penuntut Umum keberatan terhadap penetapan ketua Pengadilan Negeri tersebut, Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.                   (Osman Simanjuntak, 1995: 126)
2)   Dakwaan tidak dapat diterima.
Dakwaan tidak dapat diterima (niet onvanklijk verklaard) karena kewenangan Jaksa Penuntut Umum telah gugur serta tidak terpenuhinya syarat formil dari surat dakwaan.(Joko Prakoso, 1987: 214).
3)   Surat Dakwaan batal.
Putusan pengadilan yang berupa pernyataan dakwaan Penuntut Umum batal atau batal demi hukum didasarkan pada Pasal 143 ayat (3) KUHAP yakni :
surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b ( uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan) batal demi hukum.
 B. Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang menyangkut pokok/ materi perkara yang bersifat mengakhiri pemeriksaan perkara.
Putusan akhir yang dijatuhkan mengenai suatu perkara dapat berbentuk sebagai berikut :
1)      Putusan Bebas (vrijspraak)
Putusan bebas berarti dakwaan tidak terbukti karena salah satu atau semua unsur delik yang didakwakan tidak terpenuhi. Sehingga terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak). (M. Yahya Harahap, 2002: 326 ).
Menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan bebas dijatuhkan jika :
Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus  bebas.
Dapat pula dibandingkan dengan rumusan Van Bemelen ( A. Hamzah, 2006: 204) mengenai putusan bebas, yaitu:
Putusan bebas dijatuhkan jika hakim memperoleh keyakinan mengenai kebenaran atau ia yakin bahwa apa didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan terdakwa yang melakukannya.




2)      Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle recht vervolging )
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum dijatuhkan :
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak mungkin merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.      ( Pasal 191 ayat (2) KUHAP)

Menurut A. Hamzah (2006: 264), kalau perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa bukan tindak pidana, seharusnya maka dari permulaan hakim tidak menerima tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
3)      Putusan Pemidanaan ( verordering )
Tentang kapan putusan pemidanaan dijatuhkan, dapat dilihat pada Pasal  193 ayat (1) KUHAP yakni : “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”
Dapat dibandingkan dengan perumusan Van Bemellen (A.Hamzah, 2006: 263) mengenai putusan pemidanaan, yaitu:
Putusan pemidanaan dijatuhkan hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia mengangap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana.